12. Periode

325 37 47
                                    

Ternyata singa kalau lagi malu selucu anak kucing, ya?
___

Semua hal bergerak. Banyak hal yang berubah saat malam itu, mulai dari Dione yang akhirnya merasa lega, Rhea yang mulai berhasil menghangatkan kutub es itu, dan banyak hal lainnya yang tak mereka sadari. Karena sejatinya, perubahan itu bergerak perlahan sampai orang-orang yang mengalaminya tak terlalu kentara oleh perubahan itu. Namun realitanya, perubahan itu pasti terjadi. Tak ada yang hanya berdiam di tempat dan tak bergerak.

Hari-hari Dione di Bumi terasa sedikit menyenangkan. Entah berapa lama ia mengurung diri di planetnya. Ia merasa tak terlalu buruk jika ia terjebak di Bumi. Tepatnya, Bumi tak terlalu buruk untuk jadi tempatnya terjebak. Karena ia tak sendirian. Ia punya seseorang sekarang, seseorang yang sama dengan dirinya. Rhea.

"Psstttt ...." Desisan itu terdengar di telinganya sejurus dengan gumpalan kertas mengenai kepala bagian samping kanannya. Lemparan gumpalan kertas itu pula yang membuat Dione sontak menoleh ke meja samping.

Dione mendapati Rhea dengan cengiran khasnya di meja samping kanannya. Mereka duduk di kursi paling pojok, di meja yang bersebelahan. Mata Dione menyipit, menatap Rhea setajam elang yang menatap target buruannya.

"Nggak sopan!" ujar Dione pelan, namun menusuk.

Masih dengan cengirannya yang semakin melebar, gadis itu menatap Dione lugu, tak merasa berdosa sedikitpun. "Ale, gue nggak suka belajar kesenian," Rhea berujar pelan, persis seperti sebuah bisikan.

Ya, saat ini mereka sedang berada di ruang seni. Karena setiap Rabu, kelas Dione dan Rhea di pertemukan dalam satu ruangan dengan dua jam mata pelajaran kesenian. Di depan sana, Pak Rudy sedang menjelaskan tentang cara melukis abstrak, yang sumpah demi apapun membuat Rhea kesal sendiri. Ia sama sekali tak suka melukis.

Dione menghela napas. Rasanya ia masih kesal karena Rhea melempari kepalanya dengan gumpalan kertas. Namun, gadis itu memang berbakat untuk membuat Dione tak betah berlama-lama kesal dengan dirinya.

"Yaudah," kata Dione ambigu.

Rhea mengernyit bingung. Yaudah? Maksudnya yaudah apaan, nih? Rhea sama sekali tak mengerti satu kata yang keluar dari mulut Dione itu. Akhirnya Rhea berdecak kesal, emang harus banget, ya, Dione ngomongnya sekata gitu? "Tolong dong, kalo ngomong jangan ambigu gitu. Lo kira gue punya indra ke-enam apa, bisa baca pikiran lo?"

Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Dione malah berdiri dari duduknya seraya menatap lurus ke arah papan tulis di depan.

"Bolos," kata Dione pelan, tanpa menatap Rhea.

Kemudian, Dione menjulurkan tangannya ke atas. "Pak?" Panggil Dione pada Pak Rudy yang kini berbalik badan, menatap Dione dengan kacamata kudanya itu.

"Iya, ada apa, Dione?" tanya pak Rudy.

"Saya permisi keluar sebentar, boleh?" tanya Dione yang kini sudah jadi pusat perhatian. Siswa-siswi lainnya cukup terkejut karena setahu mereka, Dione tak pernah izin keluar kelas selama pelajaran berlangsung, kalau tidur di kelas sih, tiap hari. Bahkan Rhea memelototkan mata tak percaya, Dione benar-benar melakukan apa yang ia katakan. Yang ajaibnya lagi, pak Rudy itu salah satu guru killer sekaligus wakil kesiswaan di sekolah ini.

Masih dengan mata yang melotot, Rhea menendang pelan kaki Dione menggunakan sebelah kakinya. "Lo udah gila!" Bisik Rhea pelan, namun penuh penekanan.

Dione tak menghiraukannya, ia menatap lurus ke arah Pak Rudy, menunggu jawaban guru kesenian itu.

"Oke, boleh," kata Pak Rudy sejurus kembali menuliskan aksara ke papan tulis putih menggunakan spidol hitam.

"Ajaib!" seru Rhea, masih dengan intonasi pelan.

SATURNUS Where stories live. Discover now