13. Tak Pernah Sendiri.

317 34 0
                                    

Masing-masing jiwa itu menyadari, mereka tak pernah sendiri.
________

Sudah hampir gelap. Laki-laki jangkung itu masuk ke ruang tengah rumah ayahnya. Dengan wajah tak berekspresi, Dione melangkah menaiki anak tangga pertama menuju kamarnya. Seperti de javu, Aksa kembali meneriaki anaknya itu dari arah belakang.

"BOLOS BIMBEL LAGI KAMU?!"

Dione menghentikan langkah. Dan seperti film yang diputar ulang berjuta kali, Dione menghentikan langkahnya seraya menghela napas lelah. Lucunya, hal itu terjadi hampir setiap hari di rumah ini.

Dan seperti mengulang kejadian setiap harinya, Dione kembali melangkah, menaiki anak tangga menuju kamarnya dan menutup keras-keras pintu tersebut. Ditinggalkannya Aksa, yang nada suaranya kian meninggi.

Dione melepaskan sepatunya, melemparkan tasnya ke atas kasur, membuka dua kancing teratas seragamnya. Laki-laki itu beranjak mengambil remote AC, lantas menghidupkannya.

Dione menerjunkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan menyedihkan. Sayangnya, di ruangan yang cukup luas itu, hanya kehampaan yang memenuhinya. Hanya kehampaan, dan sisanya ketiadaan. Dione tertawa sumbang, di benaknya kembali terputar memori masa lalu yang kian menua, namun tak kunjung sirna. Kecuali amnesia, tak akan ada yang membuatnya lupa.

Tawa itu kian memelan berbarengan dengan keringat sebesar biji jagung jatuh dari pelipisnya. Dione meringis dengan jemari yang mencengkram kuat seragam di bagian dada kirinya. Rasa sakit itu kembali muncul ke permukaan setelah lama hilang.

Dione memejamkan matanya, membuat rasa sakit itu kian terasa. Dalam pejaman matanya, bibirnya bergerak pelan, menyuarakan bentuk kesakitan dari sesak itu sendiri.

"Pembunuh sialan!"

***

"Pait! pait! pait! pait!" Rhea berkomat-kamit saat matanya menangkap sesosok pemuda berkemeja hitam tengah mendekat ke arahnya dengan senyum lebar, jumawa. Rhea terus mengulang kata yang sama, seakan pemuda itu lebah yang akan menyengatnya.

"Ck!" Rhea berdecak sebal. Selalu saja pemuda di hadapannya ini membuat moodnya hancur.

Dengan senyum yang tak juga memudar, pemuda itu berhenti di depan meja kasir, di hadapan Rhea. Rhea berdecak sekali. Di kepala gadis itu mungkin sudah muncul dua tanduk sangkin kesalnya.

"Sayang?" panggil Titan jahil.

"Sayang, sayang, sayang palak lo pitak!" Rhea berseru kesal, sedang Titan tersenyum gemas. "Galak banget, sih? Bikin tambah cinta," tutur Titan seenaknya.

"Ngapain lagi sih?" ketus Rhea.

"Mau kenalan."

Rhea mendengus sebal. "Lo kan, udah kenal gue, Burhan!"

Titan terkekeh, membuat matanya menyipit lucu. "Kalo nama gue Burhan, berarti lo manggil gue 'han', dong? Kayak orang-orang barat manggil pacarnya?" Titan bersiul genit. "Segitu pengennya, ya, lo jadi pacar gue?" tambah pemuda itu.

Rhea mendengus geli. Telinganya berasa muak dengan kalimat ajaib dari Titan. Rhea menunjuk pintu keluar dengan telapak tangan yang terbuka, "Pintu keluarnya di sebelah sana, Mas."

Dan di ujung sana, manager restoran tersebut diam-diam memperhatikan tingkah keduanya. Merasa Rhea mengusir pelanggan, Tio--begitu manager restoran itu dipanggil-- berdehem nyaring. Keduanya sontak menoleh ke arah Tio.

Rhea kembali menatap Titan, gadis itu meringis. "Lo mau gue dipecat, hah?!" Pelan namun penuh penekanan, Rhea tersenyum palsu di ujung kalimatnya.

Titan tersenyum geli. Rhea selalu menggemaskan, entah kenapa setiap tingkah gadis itu selalu membuatnya tak kuat menahan tawa.

SATURNUS Where stories live. Discover now