30. Punya

229 21 1
                                    

Dione melangkah ringan memasuki kelas. Dengan ekspresi datar yang selalu ia perlihatkan pada manusia Bumi, Dione melewati siswa lain dari ujung meja terdepan sampai ke belakang. Di sebelah mejanya, bisa Dione lihat seorang laki-laki seumurannya, menyengir girang. Dione tak tau dan mungkin tak peduli siapa nama makhluk Bumi paling ajaib ini, sebabnya, sejak awal semester pertama kelas duabelas laki-laki itu selalu menyambutnya dengan cengiran setiap pagi, sesekali ia mengajak Dione mengobrol, yang terlihat seperti bermonolog karena Dione sama sekali tak tertarik meladeninya bahkan mengeluarkan satu katapun. Lagi pula, Dione selalu tidur di kelas dan bangun saat bel istirahat atau bel pulang, tidak ada waktu untuk menyahuti laki-laki di sebelah mejanya.

"Eh Bro, kemana aja lo kemaren-kemaren?" Andromeda, begitu laki-laki ceria itu dipanggil, mendekatkan kursinya ke meja Dione seolah Dione adalah sahabat karibnya.

Dione yang beberapa detik lalu duduk di kursinya, di meja paling belakang, melirik sebentar ke sumber suara dengan poker face-nya lantas bersiap-siap untuk menjadikan meja dan lengannya sebagai alas tidur, seperti biasa.

Andromeda berdecak sekali, lantas mendekatkan kepalanya ke arah Dione. "Jam pertama kelas kosong, Bro. Pak Bima nganter neneknya ke rumah sakit pagi ini. Biasalah, Bro, penyakit tua." Kekehan pelan menjadi penutup dari dongeng Andromeda.

Dione yang sudah hampir menjemput mimpi, akhirnya dibuat kesal sendiri karena tak jadi. Ingin rasanya Dione menutup rapat-rapat mulut Andromeda dengan lakban, namun sayangnya Dione tak ingin melakukan hal seribet itu. Bagi seorang Dione, kelas berisik seperti sekarang saja seolah pusaran angin topan di Saturnus yang riuh, apalagi ditambah dengan ocehan dari Andromeda. Ah, bahkan Dione sama sekali tak berniat mengetahui nama Andromeda.

Dari tempatnya menempelkan pipi, Dione bisa mendengar dengan jelas Andromeda berceloteh lagi. Aneh rasanya, padahal Dione selalu membelakangi laki-laki itu, tatap saja Andromeda tak paham kalau Dione enggan meladeninya. "Bro, gue sebenernya udah lama penasaran. Gosip tentang ini juga udah jadi konsumsi umum di SMA Galaksi. Jadi, gue mau lo klarifikasi tentang hubungan lo sama Rhea." Dione mengernyit tak suka saat nama Rhea disebutkan, namun masih bergeming di tempatnya.

"Lo sama Rhea itu sebenernya pacaran apa gimana? Asli gue penasaran banget, gue liat kalian juga deket banget akhir-akhir ini. Lo---" Andromeda cepat-cepat membungkam mulutnya saat matanya sekarang berhadapan dengan Dione yang kini menatapnya. Meski dengan ekspresi datar, namun Andromeda dapat melihat ada kilatan di mata jelaga Dione.

"Siapa?" Dione bertanya tenang, dan Andromeda bingung harus senang karena Dione akhirnya meresponnya walau dengan satu kata, atau takut kalau-kalau pertanyaannya tadi membuat Dione naik pitam.

Rome, begitu singkatnya laki-laki itu dipanggil oleh teman sekelasnya, berusaha menelan salivanya dengan payah, sedang wajahnya tiba-tiba pias. "Lo... sama Rhea," kata Rome dengan suara yang lenyap di ujung kalimatnya.

"Lo siapa?"

Jlep!

Rome merasa hujan lokal menghantam tubuhnya. Sudah bicara banyak, bertanya ini itu, nyengir setiap hari, namun Dione tak ingat namanya siapa. Rome ingin mengeplak kepala Dione menggunkan jurus seribu tangan seperti slogan sabun pencuci yang biasa ibunya pakai untuk memcuci baju, kalau saja ia seberani itu. Poor Andromeda.

Rome meringis. "Gue..." Rome bahkan bungkam di kata pertamanya sangkin blank-nya. Rome membungkam, sedang matanya melihat Dione berdiri dari duduknya, lantas berlalu dari hadapannya. Saat punggung Dione mulai lenyap dari pandangannya, Rome tiba-tiba mengerjap dua kali, berhasil merenggut kembali kesadarannya.

Di langkah sepinya, Dione kembali memupuk benci. Dia benci Bumi, dan manusia-manusia haus gosip lainnya yang memenuhi Bumi seperti Andromeda. Andromeda, ah! Bahkan Dione saja tak ingin tau nama laki-laki itu.

SATURNUS Where stories live. Discover now