05. Takdir Yang Berkaitan

30.9K 1.3K 18
                                    

Selepas sholat berjama'ah dilaksanakan saat pengajian umum dimulai, Abah memperkenalkan Akram pada seluruh yang hadir di masjid malam itu.

Tak sedikit orang yang berseru.

"Seperti yang panjenengan-panjenengan lihat, saya sedang dalam rangka menyambut kedatangan putra kedua saya yang sudah sepuluh tahun tidak menginjak tanah kelahirannya. Jadi, saya titipkan pengajian malam ini kepada Ustadz Syamsuri."

Setelahnya Kyai Habib maupun Akram meninggalkan masjid untuk kembali ke rumah. Ketika Akram hendak melangkah, orang-orang di sana berebutan untuk bersalaman dengannya. Itu membuat Akram syok. Dia tak pernah bersalaman dengan orang sebanyak itu. Tangannya terasa kaku ketika ratusan orang bersalaman dengannya.

Setelah bisa lepas dari gerombolan orang-orang, Akram maupun Abah melangkah bersama menuju rumah dengan langkah santai sembari mengobrolkan banyak hal. Mulai dari perkembangan pondok, aktivitas harian santri, kitab-kitab yang diajarakan pada santri dan lain sebagainya. Perjalanan menuju rumah terasa jauh sekali karena Abah sesekali berbelok arah untuk menunjukkan sesuatu tentang pesantren pada Akram.

Seperti saat ini saat Abah membelokkan langkahnya ke arah puskesmas pesantren yang baru diperbaikinya.

"Abah sengaja bangun tempat ini untuk kamu dan Haykal. Kelola yang baik."

Akram tersenyum kecil lalu mengangguk.

"Untuk sementara ini, jangan kerja di rumah sakit dulu. Kamu kunjungi Puskestren ini."

Lagi-lagi Akram mengangguk. "Ini hanya untuk pesantren, Bah?"

Abah menggeleng. "Untuk umum. Para warga boleh jika mau berobat ke sini juga."

Lalu percakapan antara Kyai Habib dan Akram terputus ketika seseorang datang.

"Masyaallah, Gus. Kulo sampek ndak nengeri jenengan, Gus."

Akram melihat pria paruh baya yang baru saja berbicara itu berkaca-kaca matanya. Dia tentu ingat siapa orang itu.

Akram tersenyum sopan. "Bagaimana, Pak Salim? Sehat?"

Pria itu terlihat terkejut. Dia lalu mendekat untuk memegang tangan Akram. "Jenengan masih ingat saya? Masyaallah, ya Robbi."

Akram tersenyum tipis. "Tentu saja, Pak Salim. Bagaimana saya bisa tak ingat kalau masa kecil saya saja dipenuhi dengan ingatan bersama Bapak."

Pak Salim masuk pada jajaran ustad pertama di pesantren dan kini beliau tinggal menetap di desa itu karena ternyata jodohnya yang tak datang ketika muda berada di sekitar pesantren.

Dulu jika Akram maupun saudara lainnya ingin pergi bermain atau kemana pun, Abah pasti memanggil Pak Salim untuk menemaninya. Pak Salim masuk jajaran orang yang dipercayai oleh Kyai Habib. Seingat Akram, dulu Abah sering membawa Pak Salim ke acara. Bahkan tak jarang Pak Salim yang menjadi supir Abah.

Setelah mengobrol ringan, Abah minta undur diri pada Pak Salim karena ingin meneruskan langkahnya menuju rumah.

"Kamu sudah berpikiran untuk mencari pasangan?"

Akram menggaruk pelipisnya. Dia bingung tiba-tiba ditanya begitu karena beberapa tahun terakhir ini Akram hanya sibuk pada karirnya.

"Umur berapa tahun ini, Le?"

"Dua puluh delapan, Bah."

Abah mengangguk-angguk mendengarnya.

"Sudah cukup itu. Ada seseorang yang membuat kamu tertarik? Biar Abah pinangkan. Orang Yaman pun tak apa."

Akad RahasiaWhere stories live. Discover now