Let's Fall In Love For The Night

37.2K 1.9K 484
                                    

Tidak peduli telah selama apa kamu pergi.
Tidak peduli telah sejauh apa kita sekarang.
Aku masih tetap mengingatmu sebagaimana aku masih menjadi kekasihmu dulu.

****

"Chak..."

Meski gue tau Anet masih tetap tersenyum-- senyum yang dulu pernah menjadi alasan gue bahagia. Senyum yang dulu pernah begitu gue damba-damba. Sebuah garis lengkung di bibir yang anehnya mampu meluruskan jalan hidup gue saat itu-- Tapi gue sadar, Anet sedang berjuang amat keras untuk tidak menitikan air mata. Gue enggan menatap Anet lama-lama karena gue sendiri tau, gue tidak sekuat itu.

Keadaan tengik yang memaksa kami berdua berpisah dan gue harus berperan sebagai orang jahat yang terpaksa pergi ketika Anet sedang butuh-butuhnya, tampaknya tak cukup mampu membuat hatinya berubah menjadi sekeras batu. Anet tetap menjadi Anet yang gue kenal. Pemaaf yang paling gue sayang. Jiwa yang selalu mau mencoba mengerti tanpa menghakimi. Sebuah sikap rendah hati yang selalu dan selalu saja tersirat dari senyumnya tiap gue berbuat salah, seakan tanpa perlu berbicara, senyumnya mampu mengucap: 

'kamu pasti punya alasan melakukan itu semua kok, Chak. Dan aku akan memakluminya.'

Anet adalah pasangan yang begitu baik. Ketidak-sempurnaan yang menyempurnakan kehidupan gue dulu. Satu-satunya yang bisa tertawa di tiap gue membicarakan banyak hal-hal aneh yang tak jarang sulit dimengerti orang lain. Anet adalah sesosok kekasih yang dengannya gue mampu membicarakan apa saja tanpa perlu merasa dihakimi sama sekali. Sesempurna itulah Anet. Dan sejahat inilah gue meninggalkannya.

Gue tau, Anet terlalu baik dan akan selalu mengerti. Oleh sebab itu, dulu gue berusaha bertindak sejahat mungkin agar ia membenci gue, agar ia menyumpah-serapahi gue, menghina gue, mengutuk gue habis-habisan. Tak apa, gue rela. Anet pantas membenci gue, menghilangkan gue dari hatinya, lalu ditemukan oleh orang yang jauh lebih pantas dan bisa mencintainya tanpa perlu terbeban selayaknya gue saat dulu itu.

Gue rela Anet membenci, menghina, bahkan menghasut teman-temannya dan membicarakan semua hal buruk tentang gue. Gue rela. Asalkan dengan itu Anet jadi tidak sendiri, Anet tidak harus menangis sendirian lagi, Anet tidak perlu merasa bersalah dengan keadaan yang menimpa kami berdua. Gue rela. Sepenuh hati gue rela menjadi pihak yang jahat agar Anet membenci gue dan tak menunggu gue untuk kembali;

Karena nyatanya pilihan untuk kembali itu memang sejatinya tidak ada.

Tapi di sinilah kami sekarang. Berhadapan di sebuah meja dengan tatapan yang masih sama. Anet yang gue rasa sudah memaafkan gue terlepas bagaimana jahatnya gue saat itu, dan gue yang masih merasa bersalah karena meninggalkannya tanpa mencoba berusaha untuk bertahan lebih lama.

"Chak, liat sini.." Anet meraih tangan gue yang saat itu bergetar menahan rasa benci pada diri sendiri. Betapa gue ingin menarik tangan gue karena gue tau di sana ada Twindy; seseorang yang kini sudah menjadi istri gue. Tapi, bajingannya, gue benar-benar tidak bisa menarik tangan itu dan membiarkan lengan mungil Anet mengalung memenuhi kekosongan di tangan gue yang penuh dengan luka-luka cipratan bekas minyak panas.

Gue menarik napas panjang, lalu perlahan menatap matanya. Dan ketika mata kami bertemu, mata Anet langsung berair sebelum kemudian ia membuang tatapannya.

"Kamu masih tetap kaya dulu ya. Ga ada yang berubah. Hanya sedikit lebih gemuk dan lebih bersih." Anet berusaha mengucap dengan lancar meski gue mendengar suaranya sedikit bergetar.

K U D A S A IWhere stories live. Discover now