Prolog

8.8K 519 92
                                        

Scape Club and Bar, Manhattan, New York City.

Waktu menunjukkan nyaris tengah malam, namun tempat sialan ini masih saja ramai

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Waktu menunjukkan nyaris tengah malam, namun tempat sialan ini masih saja ramai. Bahkan beberapa dari mereka baru saja tiba. Sama halnya seperti pria bermata elang ini.

Kepindahannya dari Inggris ke Amerika bukanlah untuk mendapat kebebasan tanpa syarat. Bukan kelab malam yang ia tuju, ada tugas lain yang lebih penting daripada melihat wanita dengan pakaian terbuka.

Sayangnya tujuan utamanya ia tepis di hari kedua ia tiba di negara adidaya ini. Teman-temanya yang menetap di Amerika menariknya paksa untuk datang kemari. Sebenarnya ia sudah mencoba menolak, namun apalah daya beberapa alasan justru memancingnya kemari.

"Wah wah wah, akhirnya kau datang juga," ujar pria dengan kaus putih polos.

"Kau harus berterima kasih padaku Fin, karenaku si calon pemimpin perusahaan ini bersedia datang!" sahut pria dengan jaket kulit hitam.

"Sialan! Tutup mulutmu Jammie!" pria bermata elang itu nyaris berteriak, dia bahkan belum dipersilakan untuk duduk saat ini.

Di hadapannya ada dua pria bodoh, yang sialnya pernah menjadi temannya di high school dulu. Fineas dan Jamie. Lalu seorang wanita yang juga teman lamanya, Natasha.

"Duduklah, kau terlihat tegang," si rambut blonde, Natasha, menepuk sisi kosong di sebelahnya.

Si pria menurut walau tatapannya masih kesal.

"Sampai kapan kau menetap di Amerika?" tanya Natasha.

"Sampai waktu yang tidak ditentukan. Bisakah kau tidak membahas hal ini? Kupikir ada hal lain yang lebih penting sehingga harus menyeretku kemari."

Fineas dan Jamie tertawa kencang. "Tidak ada! Tidakkah kau merindukan suasana kelab Noah?" ujar Fineas.

"Kau nyaris dua puluh enam tapi aku tidak pernah melihatmu berkencan dengan gadis," komentar Jamie tiba-tiba.

Noah menatap sebal, "Apa untungnya? Maksudku pertanyaanmu."

"Kami tahu kau berhenti pergi ke kelab dan melakukan, yeah kau tahu, friend with benefits sejak lama. Kau ada masalah dude?"

Noah menggeleng, ucapan temanya memang benar. Dulu ketika usianya menginjak delapan belas, Noah bisa dibilang cukup sering pergi ke kelab malam. Ketika usianya sembilan belas ia mulai mencoba melakukan friend with benefits dengan gadis-gadis yang ia kenal. Tentu saja semua dilakukan tanpa perasaan.

Noah sendiri tidak tertarik menjalin hubungan di tingkat yang bisa dibilang serius dan mengatasnamakan perasaaan. Itu merepotkan baginya. Entah sudah berapa banyak hubungan friend with benefits yang ia jalani bersama gadis diluar sana.

Ketika usia Noah memasuki dua puluh dua, ia mulai mencoba untuk berhenti melakukan hubungan itu dan berhenti pergi ke kelab. Well, dia bosan. Semuanya mendadak tidak menarik. Ia lebih memilih untuk serius dalam pendidikannya, kembali ke Inggris untuk melakukan apa yang seharusnya ia kerjakan.

Pada awalnya memang berat, namun Noah mampu melewati tantangan itu. Di usianya yang menginjak dua puluh empat, ia benar-benar sudah tidak bergantung pada kelab malam, bahkan one night stand saja ia tidak pernah.

"Apa-apaan ini?" tanya Noah ketika Jamie melempar sesuatu ke arahnya.

Noah menatap benda itu baik-baik. Undangan pernikahan. Undangan itu milik Jamie. Ternyata pria tiga puluh dua tahun itu berniat mengakhiri masa lajangnya.

"Kau menikah karena terpaksa?"

"Bodoh!" Jamie mengumpat, "Aku mencintainya!"

"Cinta membuatmu bodoh!" Noah terkekeh pelan.

"Fin, dia tidak akan percaya!"

"Cinta itu menyenangkan babe," kali ini Natasha masuk dalam pembicaraan.

Noah menatap Natasha lekat, "seingatku kau tidak percaya hal itu Nat!"

"Well, semua berubah."

Suasana menjadi hening diantara mereka, tidak ada yang buka suara. Hanya musik di ruangan sebelah yang masih terdengar cukup keras walau mereka masuk di ruangan khusus.

"Aku penasaran apakah si calon pemimpin perusahaan ini bisa membuat gadis jatuh cinta?" Fineas buka suara.

"Impossible!"

"Kau meragukanku Jamie?" ujar Noah yang masih terlihat santai.

"Entahlah, hanya saja bukankah kau memang tidak tertarik dalam urusan hati?" Jamie berucap penuh penekanan. Raut wajahnya meremehkan.

Noah sendiri mulai tersulut emosi. Memangnya hal sulit untuk menaklukan seorang gadis? Itu hal termudah, sebab semua gadis pasti akan tunduk padanya.

"Aku tidak butuh hal itu. Mereka terlalu mudah ditaklukan!"

Fineas menggeleng, "Tidak semua. Ketika mereka berhasil tunduk padamu itu bukan berarti mereka tulus mencintaimu."

Noah tersenyum lalu menatap Natasha yang bersandar di bahunya sembari memainkan ponsel.

"Lalu kau perlu bukti bahwa aku mampu?"

Jamie mengangkat bahu. "Lakukan saja. Jatuh cinta itu menyenangkan. Lagupula kau membutuhkan seseorang disisimu, yang mengerti dirimu."

Noah mencibir, "Kau mirip pakar cinta sekarang!"

"Yeah, he is. Dia membuatku memilih untuk bertunangan dan sepertinya Natasha juga masuk jebakannya. Dia berkencan dengan pria dari Argentina," Fineas menambahkan.

"Kita lihat saja Jamie, aku pasti bisa. Jika ini kau sebut tantangan maka aku menerimanya," Noah berucap dengan nada rendah.

"Catat ini, dia harus benar-benar mencintaimu apa adaya, dengan segala kekuranganmu, bukan karena harta, paksaan, apalagi urusan ranjang!"

Noah bangkit sambil menunjukan seringainya. "Tentu, akan kupastikan ini mudah!" Selanjutnya pria itu beranjak pergi meninggalkan kelab.

"Whoa, kau keterlaluan! Bagaimana jika nanti seseorang jatuh cinta kepadanya dan setelah ia merasa berhasil Noah akan meninggalkan gadis itu? Ini buruk Jamie!" protes Fineas.

"Baguslah! Setelahnya bocah itu akan merasa kehilangan! Ia akan menyesal dan mencoba mendapatkannya kembali."

"Bagaimana kau bisa seyakin itu?"

Jamie mendengus kasar, "ini tidak akan mudah baginya. Aku hanya mencoba membantunya. Hidupnya terlalu hampa buddy! Bocah itu butuh seseorang untuk berbagi segala hal."

"Seperti yang kau bilang, ini akan sulit. Mungkin suatu saat nanti Noah akan berhasil. Tapi aku tidak yakin bahwa dia akan merasa kehilangan setelah gadis itu pergi. Kau tahu, itu bukan tipe Noah sama sekali!" sahut Natasha tiba-tiba.

"Sebagai teman kita harus membantunya Nat. Kau dan Fineas kurasa sudah mengerti."

"Idemu buruk Jamie!"

Rahang Jamie mengeras ketika Natasha tampak tak suka idenya. Fineas hanya diam, memerhatikan tatapan tajam Jamie pada Natasha. Ini hal biasa bagi Fineas, melihat Jamie tersulut amarah. Pria itu memang tempramental.

"Aku hanya ingin Noah punya tempat untuk bersandar. Proses ini tidak akan menyakitinya," celetuk Jamie.

"Sudahlah! Kau merusak suasana pertemuan kita Jamie! Aku pulang!"

Natasha bangkit lalu meninggalkan ruangan.

Hai! Hope you like it! Maaf baru bisa update sekarang, kemarin masih sibuk unas hehe. Part 1 sudah dibuat dan akan segera di update. Jadi tunggu ya. Tinggalkan vote dan komen. Thank you.

[Agustus, 2019]

-findgilinsky-

Secret Message (COMPLETED)Where stories live. Discover now