Sang Kyai 8

1.1K 37 2
                                    


“Nafisah..”

“Si Nafisah suruh duduk menghadap kiblat, dan di sini aku menghadap kiblat kau mengahadapku, bayangkan saja Nafisah di antara kita, kau arahkan tanganmu ke perutnya dan aku ke punggungnya, salurkan tenagamu, selanjutnya serahkan padaku, bagaimana?”

Macan mengangguk, lalu tanpa banyak cakap ia pun menelpon ibunya, dan menyarankan seperti yang ku katakan.

Sementara itu Nafisah yang dirawat di rumah sakit Aisiyah Bojonegoro, diminta duduk oleh ibunya menghadap kiblat, aku dan Macan juga duduk berhadap-hadapan, kami berdua berkonsentrasi membangkitkan kekuatan sirri yang ada di tubuh kami.

Aku rasakan kekuatanku telah bangkit dan mengalir ke telapak tanganku, juga kurasakan ada angin dingin, menghembus lembut dari arah Macan ke arahku, udara serasa bergumpal-gumpal, aku membayangkan tubuh Nafisah ada di depanku.

Memang kekuatan anugrah Alloh yang tak terlihat ini begitu dahsyad, aku pernah mencoba pada temanku Tarsan, saat itu pemuda yang jago manjat kelapa itu di depanku, kami sedang membicarakan tenaga yang ada di pusar, tapi pemuda itu tak percaya akan ada tenaga sehebat itu, lalu aku menyalurkan tenaga ke tangan dan mengaduk isi perutnya, padahal jaraknya denganku tiga meter, Tarsan muntahkan semua isi perutnya, lalu aku coba menulis namanya di udara dengan jariku, dan kupukul dengan tanganku, walau tanpa menyentuhnya dan Tarsan terpental.

Aku memejamkan mata dan membayangkan tanganku mengambil penyakit usus buntu yang ada di perut Nafisah, sementara gadis itu yang tengah duduk, merasakan hawa dingin merasuk dari depan dan hawa panas merasuk dari belakang, lalu dia merasakan seperti ada ribuan semut memasuki tubuhnya, dan seperti mengambil sesuatu dari dalam tubuhnya.

Nafisah merasakan seluruh tubuhnya seperti kesemutan. Aku dan Macan masih duduk, menyalurkan tenaga.

“Turunkan pelan-pelan Can, tenaganya jangan disentak…” kataku memberi aba-aba.

Dan selesailah proses pengobatan kami. Aku mengusap peluh di kening dan jidatku, begitu juga Macan.

Ku sruput kopi yang penghabisan dan menyalakan rokok.

“Selanjutnya bagaimana Ian?” tanya Macan.

“Ya nanti telpon lagi, minta dironsen ulang, moga-moga aja pengobatan kita berhasil, sekarang aku tak pamit dulu…” kataku.

Macan mengantarku dengan motornya, sampai ke terminal Kampung Rambutan.

Aku berangkat, memilih bus yang langsung menuju Labuhan. Aku mendapatkan tempat duduk, dan tidur setelah bus berangkat.

Kondektur membangunkanku, meminta uang tiket. Ah aku kaget, pias, setelah ingat uangku yang tiga ratus sudah ku berikan Macan semua.

Ah sial aku, sementara kondektur itu menungguku, aku bingung, dah merogoh-rogoh saku, dan serr..!

Di sakuku ada uang tiga ratus ribu, ah pastilah Macan yang memasukkan tanpa ku ketahui.

Ah sudahlah yang penting aku punya uang tuk membayar bus, ku berikan uang seratus ribu kepada kondektur, dan setelah diberikan kembalian, aku tidur lagi sampai bus nyampai di pertigaan Pandeglang, aku turun, ojek datang mengerubutiku, aku melihat mang Sofyan, yang rumahnya, di kampung dekat pesantren,

“Ojek mang..?” Kataku ke arah mang Sofyan.

“Ke rumah kyai ya jang..?” tanyanya.

“Iya mang., berapa?” tanyaku.

“Lima belas ribu jang…”

“Byuuh gak salah mang? Ini kan ojek bukan taksi…”

“Sekarang ini BBM dah naik jang, penumpang jarang.., jadi ya kenaikan berlipat, mau gak jang…”

Penguasa Alam GhaibWhere stories live. Discover now