Sang Kyai 16

838 28 3
                                    

Karena tidak merasakan sakit, aku ya tetap diam saja, cuma suara cambuk ikat pinggang yang terus menghujaniku, bak-buk, bak-buk, “Sudah-sudah…!” teriak orang yang ada di ruangan itu, sementara orang yang ikut jum’atan pun sudah pada berdatangan memenuhi kaca, menatapku, juga dari pintu, dan segala lubang yang ada, aku seperti pencuri yang dinistakan.

“Ayo ngaku kau telah mencuri sandal.” kata orang yang memukuliku.

“La saya tidak nyuri sandal, gimana mau ngaku nyuri sandal.” kataku masih dengan tatapan heran.

“Benar, kamu tidak nyuri sandal?” tanya salah satu orang yang ada di dalam kantor itu.

“Tidak..!” kataku mantap.

“Gembel…, mau mungkir, kalau sandal yang kau pakai itu bukan sandal curian, apa ada gembel sandalnya bagus…?!” bentak orang yang memukuliku.

“Ini sandalku sendiri…” kataku.

“Puih, gembel hina… mau dihajar lagi?!” bentak orang yang memukuliku.

“Sudah-sudah…,” kata orang setengah baya yang tadi menyela,

“Benar kamu tidak mencuri sandal?”

“Tidak…!” jawabku.

“Apa buktinya kalau sandal itu sandalmu sendiri?” tanya orang setengah baya itu. Aku sebentar berpikir, lalu ku ingat,

“Sandal ini bawahnya japit ku kasih paku, karena sudah putus.” kataku mantap. Lalu orang yang memukuliku, menarik kedua sandal yang ku pakai, dan memandang dengan kecewa, karena apa yang ku katakan benar adanya. Dia menunjukkan sandal pada orang setengah baya itu,

“Makanya jangan nuduh sembarangan.” kata orang setengah baya itu,

“Kalau begini…, untung tidak sampai luka parah..” kata orang setengah baya itu menggerutu, sementra orang yang memukuliku, nampak serba salah, sandal kemudian diangsurkan padaku lagi.

“Heh… heh ada apa ini?” seorang pemuda tiba-tiba mendesak kerumunan di pintu dan masuk ke kantor masjid tempatku dipukuli, seorang pemuda yang seumuran denganku, berkulit kuning dan berwajah tenang, “Ada apa?” tanyanya lagi.

“Ini salah nangkap maling…” kata orang setengah baya yang melarang aku dipukuli terus, sambil tangannya menunjuk padaku, dan pemuda itupun memandangku.

“Maling gimana, ini temanku, kenapa dibilang maling?!” kata pemuda yang baru masuk, dengan nada marah, lalu menggelandangku berdiri.

“Ini temanku, kenapa dibilang maling?” tanyanya lagi, karena tak ada yang menjawab.

“Iya kami salah sangka, maaf…!” kata orang yang memukuliku.

“Maaf gimana? Mbok kalau ada masalah jangan langsung main pukul,” kata pemuda yang menyerobot masuk, yang terus terang aku pun tak kenal sama sekali, aku tetap diam saja, dan tak memperdulikan pembicaraan mereka, memang aku sendiri kadang merasa aneh, semakin ditimpa musibah, maka aku akan semakin tenang, pasrah, atau mungkin kalau dibilang tak terlalu, aku makin ngantuk, kalau tertimpa musibah, hati langsung terisi dengan Alloh jadi ketenangan teramat dalam, sampai rasanya mata jadi ngantuk.

Aku makin tak konsen dengan perdebatan mereka, sampai aku digeret oleh pemuda sebayaku, dan diajak jalan ke dalam Matahari plaza, aku nurut saja… lalu diajak duduk di etalase toko sepatu.

“Mana yang sakit?” tanyanya.

“Nggak ada yang sakit.” jawabku.

“Ah masak, coba lihat punggungmu?” katanya langsung ke belakangku dan membuka kaos kumal yang ku pakai.

Penguasa Alam GhaibWhere stories live. Discover now