Privilege || 02

106 74 155
                                    

Hak Istimewa | Chapter 02
Jumlah kata: 1550 kata

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

Nama yang dominan disoraki penonton berisikan siswa SMA Orchid tak jauh dari jabatan murid teladan. Namun, Liam memiliki nilai tersendiri yang tak kalah—selain berprestasi, ia sociable dan memiliki mantan hampir di tiap kelas. Liam tak sebaik Arthur, tapi yang jelas lebih baik dari Raven. Tak ada satu pun orang yang mendukung pemilik blazer, hanya timnya yang disebut.

"Apa sih yang gak bisa gue menangin buat kalian?" Walau isi kalimatnya cringe dan cheesy, tapi tetap saja kalau sudah diomongin seperti itu hampir seisi wanita meleleh. Apalagi mulut yang mengatakan itu adalah Liam, tidak bisa ditolak pesona wajahnya. Gombalannya jangan dianggap remeh, karena jika seseorang menjadi targetnya, segala cara dipakai untuk memenangkan.

Di belakang layar, Arthur menatap datar dan Raven berakting muntah. Setiap sel dalam diri Raven yang ingin menendang Liam di tempat harus musnah karena kali ini ada murid teladan mengawasinya. Ah, lagipula akting Raven sudah baik, meskipun ia pernah remedi ujian mengenai teater dan drama.

"Hup!"

Arthur menerima bola yang dilempar, gilirannya mengiring bola ke daerah lawan. Lelaki itu menolak mengoper pada Raven karena tahu si anak blazer pasti ingin memperlama situasi. Bukan Liam saja yang dibuat kesal, Arthur pun kena. Kakinya terhenti kala melewati garis tengah, bersiap mengoper bola karena sudah terlalu banyak yang menghadang jalannya. "Saga, sana!"

BRUK!

Kegagalan itu harus ditelan bulat nan pahit. Raven menubruk pemegang kendali bola dari belakang dan merebut bola menjadi kekuasaannya. Tanpa pikir panjang—sambil menyibakkan blazer yang dipakai, Raven mengiring bola memasuki daerah lawan tanpa back up. Dua penjagaan telah ia lewati, ini lebih mudah daripada ujian Fisika. Sesaat bertemu Liam, ia tertawa sinis.

"Oper sini," Arthur mengangkat satu tangan, selagi bangkit dari jatuh, ia sudah kembali mengambil posisi dekat gawang untuk mencetak gol. Namun mana ada anak blazer menurut. Arthur punya prediksi negatif jika blazer itu dipertemukan dengan Liam, makanya mencoba ia mengalihkan perhatian juga.

Satu alis Raven terangkat. "Nope~!" Lelaki blazer itu melambungkan bola dan membungkukkan bahu, sehingga bola berakhir di tengkuk leher Raven. "Sampai kapan mau bengong di sana? Nunggu disamperin? Cielah, manja amat." Ekor mata Raven terarah pada Liam. Raven malah memain-mainkan bola, memamerkan keahliannya sebagai mantan kapten futsal.

Iya, mantan. Murid blazer dilarang memegang jabatan di sekolah.

Awal-awal Liam sadar diri untuk tidak terbawa emosi. Namun, melihat senyum merendahkan dan kemampuan yang tidak seberapa itu berhasil buat darahnya mendidih. "Ngerasa jadi tuan rumah, hm?" Pandangannya menajam dan sebelum turun tangan, ia memerintahkan yang lain merebut bola.

BUGH!

Raven menggunakan kekerasan untuk mempertahankan akrobat kecil yang ia pamerkan, tak aneh. Merasa bos yang diincar diam saja dan mulai berdatangan semut-semut kecil yang merasa bisa melawan Raven, akhirnya si pemilik blazer itu memilih menaikkan level keasikan pertandingan ini. Dia yang global tidak pantas diperlakukan layak globe. "Lele, ambil sarapan lo!"

Kakinya terangkat melambungkan bola, tepat bola berada di ketinggian yang pas, dua kakinya memutar cepat dan melayangkan tendangan—tapi, tujuannya bukan gawang, melainkan kepala Liam yang pikirannya terfokus untuk menghalau lawan mendapat poin. Prioritas mereka sudah berbeda, mudah melihat prioritas mana yang menang karena yang satu tak fokus.

BAM!

'I knew it!' Arthur menatap kecewa.

Sempat ada jeda, ternganga melihat kondisi Liam yang terkena tendang bola. Namun itu tak bertahan lama, tergantikan rasa was-was karena siapa pun tahu, Liam tak akan diam saja diperlakukan seperti itu, terutama oleh anak blazer. Raven tersenyum miring, sudah tahu ke mana ending-nya. "Oh? Sorry, bola itu mewakilkan keinginan pertandingan apa yang gue mau, hm~!"

PRIVILEGE [On-going]Where stories live. Discover now