Privilege || 03

81 68 152
                                    

Hak Istimewa | Chapter 03
Jumlah kata: 1600 kata

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

"Mana Zaviero Raven?"

Pertanyaan yang pertama diluncurkan dan terakhir dijawab. Tidak ada yang buka suara, bahkan murid teladan sekali pun. Arthur melirik Liam, si kakak kelas dan kawanannya sudah tidak bisa berbuat apa-apa di depan pak Satria. Arthur murni tak tahu, dan kalau ia tahu pun ia memilih diam tidak berkutip karena ini hari terakhirnya memiliki urusan dengan anak blazer.

Harusnya anak OSIS nih yang mendisiplinkan murid seperti itu. Technically, Arthur juga anak OSIS tapi dia kan murid teladan, jadi dia bagian memerintah, bukan diperintahkan.

"Shh!" Lelaki itu mendesis, merasakan perih di lengannya akibat terlalu dipaksakan melawan Raven. Lengannya terasa berdenyut, tapi ia tergolong beruntung karena bisa bebas dari Raven dengan satu memar kecil. Normalnya Raven kalau berkelahi barbar, apalagi dengan Liam. Tapi, beruntungnya tidak ada darah berceceran seperti biasa. Ini berkat Arthur.

Ini pertama kalinya Arthur melawan Raven dan ia mengakui, seharusnya ia tak meremehkan pemilik blazer itu. Terbukti Raven mendapat blazer itu karena terlibat perkelahian satu bulan penuh, dengan korban berbeda dan tanpa alasan jelas. Sepertinya latihan privat bela diri Arthur belum cukup menghentikkan seorang Zaviero Raven yang latihan dari pengalaman.

"Bukannya tadi lo yang tameng si kelas bawah?"

Suara familiar itu membuat Arthur menoleh dan refleks menahan tangan yang hendak menepuk pundaknya. Menyadari luka biru itu, si lawan bicara menarik kembali tangannya. "Sewaktu dia lihat pak Satria, langsung hilang." Menurut perkiraan Arthur, pasti Raven sudah bolos. Lelaki itu cari masalah di kantin, tapi urusan bersembunyi tidak ada yang tahu di mana.

Kenapa kantin? Karena hanya kantin di mana semua orang berkumpul, tak seperti kamar mandi yang sepi. Di kantin juga tak ada penjaga seperti di tempat parkir, lapangan, atau perpustakaan. Lalu, di kantin juga ada banyak benda yang bisa Raven pakai untuk menyerang, contohnya mangkok kaca.

"Arthur!"

Dua lelaki itu mengarahkan wajah mereka pada sosok gadis cantik yang mereka kenal. Saga langsung pamit pergi, tak ingin mengangguk keduanya. Tadinya Arthur ingin menahan, tapi telat. Lelaki berjulukan murid teladan itu memutar tubuh. Sepasang mata antusias sudah menyambutnya dengan kain berisikan es untuk diterapkan di memar. Tangan Arthur terangkat.

"Apa?" Xeevara bertanya, bingung gerakan itu maknanya apa. Lantas, ia berinisiatif memasangkan kain berisi es itu pada luka memar Arthur. Sempat ada penolakan, makanya Xeevara melanjutkan, "jangan lupa, setelah ini kita ada postes Fisika. Lo engga bisa nulis jawaban dengan tangan seperti ini."

Fair point. "Terus ngapain lo masih di sini? Gue nomor satu dan lo kedua, harusnya ini jadi kesempatan buat lo ngejatuhin gue." Bukannya nilai dari murid teladan dilihat dari peringkat, tapi pada angkatan kali ini pemilik julukan murid teladan lelaki dan perempuan jatuh pada pemegang ranking satu dan dua, Xavianno Arthur dan Xeevara Adistia.

"Rasanya gak adil gue ngelakuin itu." Xeevara menahan diri agar tidak terlalu menekan luka memar itu, walau ia tahu luka kecil ini bukan apa-apa bagi seorang Arthur. "Gue sempet ke kelas dan lihat pelajaran dimulai, tapi kita balik ke sananya berbarengan aja," tawarnya manis. Jika bukan satu hal yang janggal, pasti Arthur termakan omongan itu, apalagi ini menyentuh.

Xeevara mengaku ingin berbarengan, tapi ia melupakan Saga.

"Fisika udah jadi keahlian gue." Tangan Arthur menyentuh Xeevara, pelan tapi pasti membuat pegangan gadis itu pada kain terlepas dan Arthur ambil alih untuk mengobati dirinya sendiri. "Beda sama lo dan Saga, makanya ada baiknya lo samperin Saga dan suruh dia ke kelas. Gue males ingetin tuh anak setiap kali kena remedial Fisika. Lo juga sebagai teman harusnya bantu."

PRIVILEGE [On-going]Where stories live. Discover now