Privilege || 09

9 5 7
                                    

Hak Istimewa | Chapter 09
Jumlah kata: 1370 kata

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

Proses penyampaian visi dan misi ketua OSIS berjalan lancar, terutama bagi Arthur. Semua itu tak lepas 'terima kasih' pada Xeevara atas bakatnya dalam public speaking. Padahal Arthur baru memberi naskah pidato beberapa menit yang lalu dan Xeevara berhasil menguasainya di menit terakhir sebelum dirinya dipanggil tampil. Terkadang Arthur dibuat salut olehnya. Tidak salah julukan duta bahasa jatuh pada gadis itu.

"Arthur~!"

Decakan keras keluar dari sang pemilik nama, di saat seperti ini, hanya Tuhan yang mengerti bagaimana berkecamuknya perasaan Arthur ketika ia mendengar suara cempreng itu. Bukan, bukan Xeevara. Lebih parah lagi, ini Audrey.

Audrey berlari kecil ke arah Arthur dengan kedua tangan dibuka lebar, seakan—ralat, memang Audrey mencoba mendekap lelaki berjulukan murid teladan itu di depan umum. Untung saja, insting Arthur langsung berbunyi ketika merasakan ada bahaya datang. Kedua tangan Arthur refleks menahan lengan Audrey, tepat sebelum perempuan itu sempat menyentuhnya.

"Anjir! Lo keren bingo pas di depan! Positif, gue jamin lo menang, Thur!" pekik Audrey, "Aaaa~! Makin ganteng aja kalau pake jas ketos!" Bukannya merasa ditolak dengan respon Arthur, Audrey justru menganggap perlakuan Arthur sebagai bentuk pengontrolan hawa napsu. Seorang Audrey pun tahu kalau Arthur gengsian. Yah, gadis itu tak salah menyebutnya gengsian.

Lelaki berjas itu tersenyum tipis mengangguk pelan, bagaimanapun juga ia harus bertindak sopan pada kakak kelas, tak peduli meski Arthur benci—ralat, tidak menghargai keberadaan perempuan ini. "Makasih kak Audrey." Pegangan lelaki itu mulai melemah. "Mohon maaf Kak, saya diarahkan untuk segera menduduki kursi para calon." Arthur memasang wajah berwibawa.

Meski rasanya agak sulit bertindak cool di hadapan murid seperti Audrey, tapi Arthur terus memaksakan diri. Perkataan Audrey sedikit—uhm, genit. "Calon? Calon suami?" Entah bercanda atau serius, tapi senyum miring tertampang di wajahnya. "Ngapain ke sana, Thur? Mabal sekali aja gak bakal ngaruh apa-apa ke kasta lo. Ngikut gue, kuy! Kita ke kantin, gue bakal kasih apapun yang lo mau, oke~?" tawar Audrey antusias. Cewek itu meronta mendekatkan diri hingga Arthur terpaksa menguatkan pegangannya.

Koreksi Arthur sebatas dalam batin. Audrey pikir, menjadi murid teladan itu hanya sebatas julukan? Tidak. Arthur bisa langsung di cap nakal, meski sekali. Jangankan berpikir mabal, seorang murid teladan berinteraksi layak teman dengan murid berandal pun menurunkan derajat. Murid teladan melaporkan tindakan mereka, bukan berteman dengan mereka!

Terakhir kali Arthur berinteraksi dengan murid blazer—ia Raven. Tak separah Audrey, tapi karena ia siswa pertama yang mendapat blazer di angkatan, otomatis ia menjadi pemimpin pengguna blazer yang akan datang. Ah, lupakan Raven, Audrey di hadapannya. Khusus Audrey, satu sekolah tahu senior ini posesif pada murid teladan. Andai Arthur tak dekat cewek—ralat, kalau tak ada cewek sok manis di hadapannya, Audrey tak perlu labrak mereka satu-satu, hingga timbul laporan pembulian Audrey.

"Sekali lagi, maaf. Saya harus hadir di pembukaan sampai penutupan acara," balas Arthur sopan. Cengkraman kuat, tetapi tidak menyakitkan perlahan memudar dari pergelangan tangan Audrey. Tak ada lirikan sekilas, sang murid teladan membalikkan tubuh tanpa memedulikan gadis itu.

Bibirnya Audrey mengecut beberapa senti, kedua tangannya ia simpan di pinggang. Matanya menatap sinis kepergian lelaki itu. "Yeuu! Palingan lo gak sabar ketemu cewek lo itu, dasar sok ratu!" Sebutan itu tak didengar, tak aneh karena Audrey terbiasa diperlakukan seperti ini.

Mata Audrey tak sengaja menangkap banner. Banner itu bertuliskan hal-hal istimewa mengenai proses pemilu, katanya adil, bebas, dan umum yang membuat mata Audrey sakit. 'Ha! Pencitraan!' tukas Audrey. 'Males banget di tempat beginian, terlalu banyak pencitraan!' Dengan begitu, Audrey berlari menuju pintu keluar, ia sadar tempatnya bukan di sini. Lagipula, murid blazer tak diberi kesempatan memilih. Perlu dipertanyakan isi banner itu.

PRIVILEGE [On-going]Where stories live. Discover now