Privilege || 07

45 30 65
                                    

Hak Istimewa | Chapter 07
Jumlah kata: 1465 kata

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

Sorot sang mega menemani lelaki yang tengah sendirian duduk di pojok bangku kantin, kedua tangannya disimpan di dagu, kelopak matanya terpejam seakan sedang memikirkan sesuatu yang berat. Lelaki dengan jas abu itu langsung membuka matanya ketika ia merasakan seseorang berjalan ke arahnya. Itu pun karena Saga menyiku lengannya yang memar.

"Xavianno Arthur," panggil seseorang. Otomatis dua individu di meja menolehkan kepala ke sumber suara. Saga menaikkan sebelah alis kala dirinya bertemu dengan mata ocean, gadis yang wajahnya cukup familiar. Sementara Arthur menatap datar seakan ia tak memiliki urusan dengannya.

"Ada yang perlu gue obrolin tentang—" Gadis tadi—Raquella Devaney, langsung menunjukkan suatu kertas yang diberikan Arthur kemarin. "Ini." Deretan kata dalam formulir dapat terbaca jelas di tatapan Arthur, peletakan kalimat atas formulir membuatnya sadar topik apa yang akan dibicarakan gadis tersebut. "Gue mau ngundurin diri dari penyalonan wakil OSIS."

DEG!

Seketika mata Saga dan Arthur membulat. Arthur langsung bangkit dari duduknya tergesa-gesa hingga menimbulkan suara bising dari kursi dan pahanya beradu dengan meja. Mana sempat memikirkan itu, ia menarik lengan gadis itu kasar dan membawanya pergi. Bukan tak sempat, Arthur memang tidak mau pandangannya bertemu dengan Saga, sehingga murid teladan itu pergi tanpa sepatah kata tertinggal.

Di balik mereka, Saga menatap postur itu dengan penuh tanda tanya. Salah satunya, mengenai apa yang Raquel katakan. 'Arthur ngambil langkah duluan,' batin Saga. Tangan lelaki itu mengepal hingga kukunya memutih. Dugaan Saga salah, Arthur tidak bisa memegang kata-kata—janjinya. Lelaki itu menggelengkan kepala, pikirannya melayang pada Xeevara. Siapa sangka, pandangan Arthur buta bila berhadapan dengan gadis itu, saking butanya sampai tidak pernah menyadari seberapa besar perjuangan Xeevara.

Saga sendiri bisa melihat perjuangan Xeevara, padahal perjuangan itu tak tertuju padanya. Mengapa Arthur tak melihat Xeevara sebagaimana Saga melihatnya? 'Setelah ini ada banyak hal yang perlu lo sampein ke gue, Thur.'

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

Arthur tak tahu ke mana ia mengangkat kedua kakinya, yang jelas ada di pikiran lelaki itu hanya menjauh. Perihal ini tidak bisa dibicarakan di depan Saga karena kemungkinan besar akan menimbulkan kesalahpahaman. Lelaki itu—Saga, pemikirannya berat sebelah. Pada akhirnya, pasti lelaki itu justru mengintrogasi daripada memahami. Perdebatan mereka sulit berakhir, dan Arthur sendiri belum bisa menjelaskan secara logika alasannya.

Aneh, sang murid teladan sekaligus peringkat pertama yang bisa menginterpretasikan suatu materi, memberikan presentasi dengan sempurna, dan lelaki yang handal mengobservasi ternyata bisa dibuat bingung ketika menghadapi hormon anak remaja. Saga adalah salah satu contoh dari manusia seusianya yang membuat Arthur tak habis pikir.

"Oke-oke! Engga perlu ditarik-tarik gini, kan?"

Sang murid teladan terdiam memikirkan mana tempat yang pas bagi mereka bicara, ia menarik lebih kasar lengan gadis itu menuju koridor tempat basecamp OSIS. Di waktu istirahat pertama, ruangan ini sering sepi karena biasa digunakan di istirahat kedua atau pulang sekolah. "Gue anak kepala sekolah, mau apa lo?" tantang Arthur. Sejujurnya geli mengucapkan kalimat tersebut, tapi kekuasaan ini terkadang bisa diandalkan.

Kalau ia mengatakan murid teladan, tentu saja salah karena murid teladan harus mencontohkan sikap saling menghargai dan menjadi panutan semua murid. Bukan seperti yang Arthur lakukan saat ini, agak pemaksaan. Arthur spontan melepas cengkramannya dan mulai berbalik menatap tajam gadis itu, sayangnya Raquel tidak menampakkan respect. Gak aneh.

PRIVILEGE [On-going]Where stories live. Discover now