IV-4. Tawaran Red

1.4K 161 4
                                    

Red tiba satu setengah jam sebelum makan malam dimulai. Ia tampak sedikit lelah, tetapi penampilan kakak sepersusuanku itu tetap sempurna seperti biasa. Red punya wajah rupawan dengan mata hijau yang dalam, proporsi wajah mendekati rasio emas, dan rambut merah gelap berponi yang selalu tersisir rapi. Kemeja, celana bahan, dan sepatu pantofel melekat sempurna pada tubuhnya. Jangan harap melihat kakakku memakai kaus dan sneakers kalau bukan sedang berolahraga. Jeans? Red sudah menyingkirkan bahan itu dari lemarinya sejak entah kapan.

Ma menyambut Red seolah ia menyambut anak laki-lakinya yang baru pulang merantau. Saat Red beralih padaku, aku tak bisa membaca ekspresinya. Dia tetap memeluk dan mencium keningku, hanya saja terasa lebih kaku dari biasanya. Perasaanku semakin tidak enak saat melihat hadiah yang ia bawakan untukku.

"Wah, terima kasih, K!" Alih-alih aku, Ma yang bersemangat melihat hadiah itu. "Padahal tidak usah repot-repot."

Obrolan menyambung ke liburan kami dan kabar Madoii sebelum Ma mengajak kami ke ruang makan. Ruan Warda dan Rou Olfi ikut bergabung dengan kami. Awalnya mereka sungkan. Setelah didesak berkali-kali, baru mereka bersedia ikut makan bersama.

"Terima kasih hidangannya," ucap Red setelah semua makanan habis tak bersisa. "Semuanya enak sekali. Apa Anda memasak semuanya, Ruan Warda?"

"Tidak semua. Prani Diame membuat kentang rebus dan pasta salmon, sedangkan kue mangkuk asin ini buatan Rosie."

"Kau memasak?" Red menoleh padaku. Aku mengangguk.

"Bagaimana rasanya?"

"Enak sekali. Di Canaih nanti sering-sering buatkan kami kue mangkuk, ya."

Kami tertawa. Dalam hati aku menambahkan, baik Red ... tapi sebelum ke luar negeri lagi aku harus sudah tahu apa yang akan kulakukan dengan pendidikanku. Kami bangkit dan membantu Ruan Warda mengangkat alat-alat makan ke dapur. Kemudian Rou Olfi pamit untuk mengunci pintu-pintu. Ma pergi ke ruang tengah untuk membaca majalah yang dibelinya di bandara. Sedangkan aku dan Red ke halaman belakang membawa camilan dan kado yang ia bawakan untukku.

"Banyak sekali camilan yang kau bawa itu," komentar Red saat kami meluruskan kaki di tepi kolam ikan. "Apa ada yang rasa mixed berry? Apa pun itu."

"Banyak. Biskuit, susu, yoghurt, air minum distilasi. Sebut saja semuanya."

Red tertawa kecil. Ia membuka kantong camilan dan membuka botol susu.

"Kau tidak ngemil?"

"Aku kenyang sekali. Hebat juga perut Red masih bisa memuat camilan setelah makan sebanyak itu."

"Menurutmu aku makan banyak?" Red setengah tertawa.

"Lumayan. Red lapar sekali, ya?"

"Mungkin. Mungkin aku hanya senang bisa berkunjung ke sini lagi."

Red mengacak pelan rambutku. Khas Red. Ia tidak peduli kalau aku perempuan yang ingin selalu tampil rapi. Begitulah cara Red mengungkapkan rasa sayangnya.

"Ngomong-ngomong kau belum membuka hadiahmu."

Red menaruh botol dan menyerahkan kotak kado padaku. Aku menerimanya dengan ragu.

"Red tidak baca pesanku?"

"Aku membacanya. Tetap saja, ini untukmu."

"Kenapa?"

"Tak bolehkah kami membuat senang adik dan keponakan perempuan kami satu-satunya?"

"Waktunya tidak tepat, Red." Mataku mulai berkaca-kaca. "Aku tidak lulus tapi kalian malah memberiku hadiah seolah ada sesuatu yang patut dirayakan."

PreludeWhere stories live. Discover now