V-3. Antrean yang Menegangkan

980 114 18
                                    

Kalau aku tak bisa mengendalikan diri, mungkin aku sudah melompat ke tengah lapangan, menubruk Heii-xa, dan meminta semua pendukungnya mengarak sang akla dalam parade kemenangan.

Aku tahu Heii-xa pasti menang. Prestasi dan statistiknya sudah membuktikan itu. Walau begitu, kuakui Lofelin-ha adalah lawan yang berat. Ada saat-saat ketika kami memekik panik karena serangan Lofelin-ha yang mengancam posisi Heii-xa sebagai calon pemenang. Meski bertubuh kecil, Lofelin-ha sangat agresif dan menakutkan saat bertanding. Ia mengingatkanku pada semut-semut merah yang pernah kutindas saat kami belajar berkebun di sekolah awal dulu. Semut-semut itu langsung menggerayangi dan menggigitiku tanpa ampun sampai aku harus dilarikan ke ruang medis. Saat dirawat, guruku mulai menceramahiku soal menghormati habitat makhluk lain dan akibat dari perbuatan semena-mena. Aku belajar banyak dari ceramahnya. Namun, ada satu hal lain yang kupelajari di luar itu: Ukuran makhluk hidup tak selalu berbanding lurus dengan keganasannya.

Bersama semua pendukung Heii-xa, aku bersorak saat akla favorit kami melepas helm dan membungkuk hormat pada penonton. Setelah itu giliran Lofelin-ha. Sorakan kami terhenti ketika melihatnya berurai air mata. Farha bertepuk tangan hormat untuknya. Seluruh arena memberikan penghormatan untuknya. Aku juga ikut bertepuk. Dari bisik-bisik yang kudengar, cita-cita terbesar Lofelin-ha adalah bertanding melawan kembarannya dalam Pertandingan Kehormatan. Meski ia bukan akla favoritku, sulit untuk tidak menaruh hormat pada orang-orang yang memperjuangkan mimpi mereka.

"Eh? Kau tak mau mengucapkan selamat pada Leyzo Neveliz dulu?" tanya Farha ketika aku mengajaknya keluar arena.

"Nanti saja lewat chat. Kalau sekarang sepertinya akan sulit. Aku yakin Heii-xa langsung ke area khusus akla untuk disambut rekan-rekan aklanya dan beristirahat."

Lagi pula aku belum tahu harus menjawab apa kalau dia mulai membahas Madie Canaih, sambungku dalam hati.

Kami pun keluar arena pertandingan. Karena cuaca cukup terik, Farha menyarankan agar kami minum dulu di kafetaria. Sebenarnya aku tak begitu haus. Akan tetapi, aku setuju karena ayahku tampak sedikit terkuras. Hari ini Farha harus mengurus kargo barang kami yang baru tiba pagi tadi. Aku ingin membantu. Namun, Farha mendesakku agar segera mendaftar karena khawatir pendaftaran tak akan buka sampai sore.

Tiba di kafetaria, Farha segera mengantre di kios produk susu sementara aku bergegas menuju kios jus. Aku senang ketika melihat antrean pria di sana kosong. Tanpa ragu, kuambil tempat paling depan.

"Mazo, antreannya dimulai dari sini."

Suara bernada tegas itu berasal dari belakang antrean. Aku menoleh dan melihat seorang gadis berambut hitam berombak sepanjang bahu menatapku tajam. Kontan aku merasa gugup. Secara umum aku memang malu terhadap perempuan. Namun, kali ini ada faktor lain yang membuatku salah tingkah.

Wajah gadis itu manis sekali. Sorot matanya memang menakutkan. Walau begitu, binar abu-abu dari kedua matanya tampak indah dan pipinya yang merona membuatnya tampak semakin manis. Kedua alisnya yang berbentuk huruf "s" pun menambah kesan cantik pada profilnya. Sayang, postur tubuhnya kurang bagus. Ia sedikit bungkuk dan tampak seperti orang yang kurang percaya diri ... atau mungkin hanya kurang olahraga?

"Oh," kataku berusaha bersikap normal. "Setahuku di Canaih antrean laki-laki dan perempuan dipisah, tetapi kalau aku salah aku akan mengantre di belakangmu, Maze."

Aku sangat berharap aku benar mengenai aturan mengantre ini. Tak bisa kubayangkan diriku berdiri tepat di belakang gadis itu. Bisa-bisa wajahku berubah seperti lobster rebus saking merahnya.

"Tidak, Leyzo. Kau benar," sela seorang perempuan paruh baya di bagian depan antrean perempuan. "Antrean laki-laki dan perempuan di Canaih memang dipisah. Jadi Leyze, Leyzo ini tidak melanggar antrean."

PreludeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang