IV-14. Teman Pertama

1K 135 12
                                    

"Rosie, kau tak apa-apa?"

Aku tersadar dari lamunan. Lagi-lagi aku melihat wajah cemas Reed.

"Kau diam saja dan sekarang tampak mual. Kau sakit?"

"Ah, mungkin karena aku tak cukup sarapan tadi pagi." Aku berbohong. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, kok."

Benakku langsung mencari topik yang menyenangkan untuk dibahas, sampai akhirnya terpikir olehku akan pertemuan kami di kafetaria markas akla anmina.

"Kau menonton Pertandingan Kehormatan si kembar Neveliz, kan? Menurutmu bagaimana pertandingannya?"

"Luar biasa!" jawab Reed semangat. Ia seolah lupa pernah bersikap gugup padaku. "Tak kusangka Lofelin-ha bisa menjadi lawan yang sulit bagi Heii-xa. Maksudku kalau dilihat dari debut mereka di daftar unggulan, Heii-xa muncul di daftar itu jauh sebelum Lofelin-ha. Dilihat dari statistiknya pun, Heii-xa jauh lebih unggul. Meski begitu, Heii-xa memenangkan pertandingannya dan aku tak bisa lebih senang dari itu!"

Reed memang tampak senang sekali. Aku tak bisa mengatakan kalau aku juga ikut senang.

"Kau Tim Heii-xa, eh?"

"Benar sekali. Dia adalah akla terbaik di periode ini dan periode sebelumnya, sebelumnya, sebelumnya, dan sebelum—"

"Maaf, aku keberatan. Lofelin-ha adalah akla terbaik yang pernah ada."

Reed terperangah. "Maaf?"

"Aku bilang, Lofelin-ha adalah akla terbaik yang pernah ada."

Reed memandangku seolah aku baru saja bilang aku ini keturunan alien.

"Maze ... eh, Rosie, kau tidak baca data mereka di situs akla?" tanyanya heran. "Heii-xa jelas lebih unggul!"

"Aku sudah membacanya, tapi itu tidak berarti apa-apa setelah pertandingan terakhir mereka. Mereka sama-sama kuat dan aku yakin kalau Feli-ha lebih beruntung dia bisa jadi pemenangnya."

"Kau mau bilang Heii-xa menang karena beruntung?" Kedua alis Reed yang tegas mulai menukik.

"Kalau iya kenapa memangnya? Aku tidak bilang dia payah, kan?"

Untuk sesaat, kami bertatapan dengan wajah tidak senang. Akhirnya Reed menghela napas dan berkata, "Berdebat soal ini tidak akan ada habisnya. Kita akan sama-sama keras kepala soal akla favorit kita."

"Kau benar," kataku tenang kembali. "Kita cari topik lain yang tidak akan bikin ribut, ya."

Reed tertawa. "Tahu tidak? Aku tak pernah senyaman ini mengobrol dengan perempuan."

Jantungku langsung berdegup lebih keras dari biasanya.

"Kebanyakan dari gadis yang terpaksa kuajak bicara menatapku aneh dan malas lama-lama mengobrol denganku," sambung Reed. "Mungkin karena aku gugup, mereka jadi malas meladeniku."

"Kau hanya perlu menemukan topik yang tepat, topik yang membuatmu semangat membahasnya," kataku. "Dengan itu kau bisa melupakan kegugupanmu dan fokus pada topik yang kaupilih. Tapi aku yakin kalau sudah terbiasa, kau pasti bisa berbicara santai terlepas dari topik apa yang kau bahas."

"Begitu, ya." Ia mengangguk-angguk pelan. "Um ... untuk latihan, tidak apa-apakah kalau kita sering mengobrol?"

"Dengan senang ... maksudku, yah, tentu saja."

Dalam hati aku merutuk. Aku hampir saja kelepasan mengatakan "dengan senang hati". Apa-apaan kau ini, Rosie?

"Terima kasih. Kau benar-benar membantuku," katanya. "Aku tak pernah berpikir bisa cocok bergaul dengan perempuan sebelumnya."

PreludeWhere stories live. Discover now