PARK JIMIN

9.7K 501 49
                                    

Note: Play bgm nya please?





Angin musim panas berhembus menerpa wajah lelaki itu. Membiarkan kakinya terpaku ditempat yang sama. Menatap pusara basah yang masih menyerbakkan aroma wangi khas bunga lili, aroma yang nyaris setiap saat menemani hari-hari terakhirnya.

"Pada akhirnya kau juga ikut pergi meninggalkanku, tapi tidak apa-apa, itu lebih baik dari pada aku yang pergi meninggalkanmu." bibir penuhnya menyungging senyum tipis, tampak rapuh. Tangan mungilnya meremat buku bersampul ukiran daun, buku agenda yang dia dapatkan tepat sebelum satu-satunya orang yang begitu dia andalkan pergi.

"Tulis apa yang kau rasakan jika kau tidak sanggup mengatakan perasaanmu pada orang lain. Jangan memendamnya sendiri. Setidaknya, jika kau ingin menangis masih ada buku ini yang akan menemanimu."

Sederet kalimat itu akan dia ingat. Ya, sudah saatnya melangkah dari zona nyaman. Sudah saatnya dia memecut dirinya sendiri untuk pergi dari tempatnya berpijak.

"Doakan aku agar aku bisa menghadapi semua ini tanpamu. Aku janji akan sering berkunjung, meski aku harus pergi diam-diam atau adu mulut. Sampai jumpa, Sayangku."

Untuk yang terakhir, Park Jimin, lelaki belasan tahun itu mencium nisan perempuan yang begitu dia cintai. Satu-satunya yang menjadi tumpuan hidupnya selama ini selain seseorang lain yang jauh disana. Air matanya menetes jatuh melewati pucuk hidung, matanya terpejam menikmati sisa musim panas yang akan terasa lebih dingin dari musim dingin yang terdingin dalam hidupnya.





֎֎֎





"Ayo, Tuan Muda." Kim Namjoon, asisten pribadi Jimin menegur. Setengah hati membawa lelaki itu pergi meninggalkan kediaman sederhana yang selama ini mereka tinggali. Dia begitu paham, jika tempat ini teramat berharga untuk lelaki yang lebih muda lima tahun darinya.

Jimin menghela napas berat, mengelus pagar besi yang mulai berkarat kemudian merematnya pelan sebelum melepaskannya perlahan dengan hati sesak. "Aku pergi," ucapnya sembari menatap kosong halaman rumah sederhana yang selama ini menjadi tempat bernaungnya. Tempat yang sudah memberinya kebahagiaan tanpa mampu di deskripsikan. "aku tahu kau akan menjaga tempat ini untukku," katanya lagi pada udara sore yang terasa hangat dikulit.

"Jimin, Nenekmu lebih senang melihatmu pergi dengan senyuman." Namjoon berujar, dia sudah mengabdi pada keluarga Park Sujin sejak Jimin kecil. Mereka tumbuh bersama, maka tidak heran sosoknya akan berubah menjadi seorang kakak untuk lelaki manis bersurai hitam pekat ini. "Dengar, kau masih memilikiku jadi jangan pernah berpikir kau akan kesepian disana."

Kepala Jimin mengangguk paham, menoleh sambil meremat tangan Namjoon yang masih bertengger di bahu kanannya. "Terimakasih, Hyung. Ayo berangkat, mereka pasti sudah menunggu kedatangan kita."






֎֎֎






Park Jimin, sejak kecil tinggal di Daegu bersama keluarganya. Mereka hidup bahagia. Jimin kecil hidup bersama kakek, nenek, serta orang tuanya. Semua berjalan normal, tampak baik-baik saja di mata bocah itu. Namun, tidak tahu bagaimana kronologinya, yang Jimin ingat saat itu ayahnya berpamitan padanya untuk pindah ke Seoul karena pekerjaan dan akan pulang setiap akhir pekan atau sebulan sekali jika terlalu sibuk.

Ayahnya menepati janji, pulang setiap akhir pekan. Hanya saja ada yang terasa janggal, sebab ibunya tidak pernah datang. Kata sang ayah, ibunya sedang sakit. Jimin yang masih kecil dan tidak memiliki pemikiran negatif pun hanya mengangguk dan memanjat doa agar ibunya lekas sembuh supaya bisa pulang dikesempatan lain.

Namun, semua tidak sepositif pikiran Jimin. Ayahnya perlahan pun seolah turut menghilang. Tidak pernah datang meski terkadang masih menghubungi nenek atau kakeknya untuk bertukar kabar melalui sambungan telpon. Semakin beranjak dewasa, akhirnya Jimin tahu jika orang tuanya sibuk. Entah memang bekerja, entah memang sengaja menyibukkan diri.

2 UWhere stories live. Discover now