Heart

1.3K 174 2
                                    





Hari itu Jimin seharusnya berada di cafe, memenuhi kewajiban sebagai seorang pekerja part time. Namun, sayangnya dia harus izin dengan alasan keperluan perkuliahan. Mengatas namakan dosen sebagai alibi.

Kaki kecilnya melangkah berat. Menapaki sebuah gedung pencakar langit yang megah dan mewah. Kalau bukan karna statusnya, Jimin tidak akan pernah berani menjejakkan kaki diatas lantai yang mengkilat ini. Meski sebenarnya, dia pernah bermimpi menjadi bagian dari karyawan-karyawan itu. Menjadi manusia yang sedikit lebih sukses dari keluarganya.

Ya, semoga saja suatu saat bisa terwujud. Doa Jimin dalam hati.

Lalu ketika sampai di lantai 9, dimana dia diminta datang, seseorang telah menunggu sekaligus menyambutnya.

"Tuan, maaf ya? Aku jadi merepotkan. Seharusnya aku sendiri yang mengambil berkas itu." Boo Seungkwan lekas membungkuk sambil mengusak tengkuknya canggung saat Jimin datang untuk mengantar berkas penting rapat nanti. "Dia memang keterlaluan, tidak di tempat saja masih merepotkanmu. Lagi pula aku bisa mengambilnya kesana, tapi tahu sendiri Presdir memiliki seribu mata yang dipasang dimana-mana. Sekali lagi maafkan aku, ya?"

Jimin tersenyum lembut, menggeleng kepala pelan. "Bukan apa-apa. Seperti yang kau katakan dia memiliki seribu mata yang bisa mengawasi kita. Lalu, setelahnya Jimin memgerjap ragu. "Uh, apa Presdir sibuk?"

Seungkwan lantas mengernyit. "Tentu saja sibuk. Kalau tidak pasti dia disini untuk menghadiri rapat."

"Ah, begitu ya? Kira-kira bisa sampaikan pesanku padanya?"

"Bukan tidak mau, tapi terkadang Presdir berpikir terlalu rumit." lelaki yang menjabat sekretaris sang Presdir sedikit meringis, mengingat bagaimana sikap otoriter bosnya. "Dia pasti sangat sibuk disana. Seungwoo saja sampai mengeluh padaku setiap malam karena harus mengikuti Presdir minimal ke lima tempat berbeda dalam sehari. Tapi setidaknya itu menyenangkan. Aku berharap bisa berlibur juga kesana." katanya tanpa sadar dalam lamunan. "Paris memang kota romantis kan?"

"Paris?"

Lagi, Seungkan mengerjap. "Tuan tidak tahu kalau Presdir sedang di Paris untuk perjalanan bisnis selama seminggu?"

"Oh, mungkin dia lupa memberi tahuku. Atau aku yang terlalu sibuk dengan kegiatan perkuliahanku sampai lupa membalas pesannya. Baiklah kalau begitu aku permisi dulu. Aku masih ada urusan lain."

"Tunggu, sopir akan-"

"Tidak, tidak perlu. Aku akan pergi sendiri. Permisi."

"Tapi, Tuan Jimin! Tuan?!"

Jimin mengabaikan teriakan Seungkwan. Kakinya lekas beranjak pergi. Mendadak merasa sesak berdiri di dalam gedung besar itu.

Bibirnya mengukir senyum saat kakinya sedikit jauh dari tempat itu. Dadanya nyeri, sungguh.

"Sadar, Ji, kau bukan siapa-siapa. Jadi kau tidak perlu tahu kapan dan kemana dia pergi. Tugasmu hanya menunggu dan menjaga perasaanmu agar tidak terjatuh pada sesuatu yang sudah jelas tidak akan pernah bisa kau miliki."

(。•́︿•̀。)

Pria itu menatap tajam pintu di hadapannya. Tenang memang, namun jelas dari matanya nampak gemuruh luar biasa yang siap dia ledakkan. Hampir satu menit dia berdiri disana, menunggu penghuni flat untuk membukakan pintu. Lalu pada detik ke 57, sosok itu muncul dari sana.

Bisa dia lihat raut terkejut yang sama sekali tidak berusaha untuk ditutupi. Lihat, bagaimana mata bulat itu menatap, pipi yang dirasa sedikit tirus dari terakhir dia lihat, atau gurat lelah yang jelas terpampang di wajah.

"Kau tidak mempersilahkanku masuk?"

Jimin berkedip cepat, segera membuka pintu lebar-lebar agar sang Presdir yang beberapa hari ini menghilang dapat masuk dengan leluasa.

"Maaf, silahkan masuk." ujaran itu mengalun lirih sembari menundukkan kepala dalam-dalam, sampai membuat ujung dagu dan lehernya bertemu.

Jimin membiarkan Presdir masuk dan berlaku sesuka hati, pria sukses itu menatap sekeliling seolah menilai kelayakan flat tersebut.

Tidak mau ambil pusing, Jimin lebih memilih untuk pergi ke dapur sekedar untuk menyiapkan kopi sebagai suguhan tamunya.

"Silahkan," Jimin kembali bersuara ketika meletakkan secangkir kopi di atas meja dimana Presdir tengah mengistirahatkan diri di salah satu sofa. Lagi-lagi dengan sikap angkuh yang sesungguhnya membuat Jimin tertekan.

Hening, Presdir menatap kosong cairan pekat didalam cangkir putih yang mengepulkan uap. Menunggu manusia lainnya kembali bersuara.

"Senang?"

Langkah Jimin berhenti, mendekap nampan kuat-kuat tanpa berani menoleh. Dia tahu, aura dingin ini adalah pertanda buruk.

"Tidak punya telinga atau kau tolol sampai tidak mengerti bahasa manusia?" suara itu mengalun santai, tidak peduli dengan keadaan sosok lain yang terluka atas kata-katanya.

Jimin mendeguk ludah kepayahan. Satu tetes air matanya jatuh tanpa permisi. Kenapa? Kenapa harus sesakit ini? Tadinya Jimin akan berdamai dengan keadaan, tapi sepertinya tawaran Hwasa patut di pertimbangkan jika keadaan dirinya terus menerus seperti ini. Jimin tidak sanggup.

Satu tangannya lekas menghapus air mata di pipinya sebelum berbalik, memberanikan diri menatap pria sukses yang sudah menolongnya dengan mantap. "Presdir, aku ingin berhenti."

Tatapan mereka bertemu, lalu seulas senyum muncul dari salah satunya. Beranjak pelan untuk mendekati yang lainnya.

Jimin berkedip gugup, semakin pria itu mendekat maka kegugupannya akan semakin menggila. Bahkan tanpa sadar kakinya bergerak mundur dengan kaku sebelum tubuhnya limbung dalam pelukan. Membuat nampan di pelukannya terlempar sebab tarikan pada lengannya terlampau kasar.

"Berhenti?" pria tersebut berbicara tepat di depan bibir Jimin yang bergetar. "Memang sudah mampu mengembalikan apa yang pernah kuberikan padamu?"

"A-aku akan bekerja. Aku-"

"Bekerja ya?"

Jimin semakin gugup. Rematan sensual di pinggulnya membuat kakinya lemas secara bertahap. Belum lagi hembusan napas di sekitar leher dan telinganya.

"Kalau kau mampu membayar semua dalam waktu satu minggu, mungkin aku akan mempertimbangkan."

"Pres-"

"Ah, ditambah bunga 25% jangan lupa." Min Yoongi tersenyum remeh saat kedua bahunya di remat kuat. Ah, kucing kecilnya ketakutan rupanya. "Kalau kau tidak bisa melunasinya dengan waktu yang sudah kutentukan, bersiap saja menerima risikonya."

Seketika itu Jimin menyesal. Seharusnya dia tidak pernah berurusan dengan manusia pucat ini. Mereka benar, Min Yoongi memang gila.




༼;´༎ຶ ۝ ༎ຶ༽

Halu lagiiiii....

2 UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang