Hari Keenam : Misi Putus Asa Dan Wastafel yang Rusak

878 129 41
                                    

Mengetahui fakta bahwa telepon singkat dengan Seno amat sangat tidak membantu (kemungkinan membawa malapetaka, malah), membuatku makin uring-uringan. Dan frustasi itu tidak kunjung hilang hingga malam datang. Parahnya, kami bertiga (aku, Dennis, dan Risa), sudah setengah jalan menuju restoran.

Entah kenapa aku punya perasaan kalau ini adalah kesempatan terakhirku.

"Gue denger restorannya punya taman belakang yang luas banget." Risa menyela lamunanku, "Keren banget view-nya, katanya."

Akhirnya kami tiba. Dan tak ada kata lain untuk menggambarkan restoran itu. Bagus banget.

Restoran itu berkonsep saung, dekorasinya didominasi kayu warna hangat, dengan penerangan yang berasal dari lampion berwarna-warni, serta memiliki kolam buatan di beberapa bagian dining-nya dan banyak terdapat tanaman hias, menjadikan tempat makan itu terasa alami. Di satu ruangan dining utama restoran itu terdapat buffet besar yang menyatu dengan akuarium tempat makhluk-makhluk laut yang malang diletakkan, alias ikan-ikan mentah yang masih fresh, bisa dipilih sesukanya dan dimasak sesuai keinginan. Jendelanya besar-besar, menampilkan pemandangan perkebunan teh dan lampu-lampu kota di kejauhan yang menakjubkan, serta tata ruangnya bagus sehingga tidak menimbulkan kesan sumpek walaupun lumayan ramai pengunjung.

Tetapi Risa membawa kami melewati itu semua, menuju area saung dan pemandangan yang menyambutku membuatku terpana.

Seperti kata Risa, area saung yang tergabung dengan taman belakangnya luas, sangat luas. Hingga aku sempat yakin di siang hari lapangan ini bisa dipakai piknik dan bermain bola. Namun di malam hari view-nya keren banget! Persis di pusat taman yang itu berdiri air mancur super besar, dengan patung besar berbentuk ikan yang disinari lampu sorot. Dan di sekelilingnya bertebaran sungai-sungai buatan dengan saung-saung khusus untuk pengunjung yang menginginkan menyantap makanannya ala lesehan. Jarak antar-saung tidak terlalu dekat, sehingga tamu bisa memiliki cukup privasi.

Celakanya, Risa memesan tiga saung. Yang mana dugaanku, grup kami bakal dibagi menjadi tiga kelompok: Risa dan Bryan, Yuna dan Reno, aku dan Dennis.

Benar saja.

"Saung kita agak jauh dari saung mereka," Dennis memulai, seperti komandan yang berbicara pada bawahan ketika menyusun taktik penyerangan ke kubu lawan, dan meneruskan dengan menggumam, "Itu berarti kita harus agak kerja keras."

Sebetulnya, aku nggak tahu dan nggak mau tahu apa yang Dennis maksud dengan 'kerja keras', yang jelas aku sudah muak dengan semua ini.

"Den, kita stop pura-pura aja, gimana? Gue capek hati." aku membuka percakapan di tengah kunyahanku ketika kami sudah masuk ke salah satu saung dan makanan pesanan kami sudah datang. Dennis tidak menyahut, dia tampak sibuk dengan pikirannya. Aku jadi melirik Reno yang sedang berjalan ke arah saung kami...

Ke arah kami?!

"Kamu bilang apa barusan, Dear?" Dennis sengaja mengeraskan suaranya tepat saat Reno melewati saung kami.

Aku membelalak menatap Dennis. Reno bergeming. Ternyata cowok itu berjalan menuju wastafel yang letaknya tak jauh di sebelah saung kami.

"Kamu mau kusuapin?" Dennis tak tanggung-tanggung menyodorkan ikan bakar yang masih panas ke mulutku yang lengah. Lidahku terbakar.

"PUEEEH!" aku memekik spontan, buru-buru menenggak minuman di hadapanku. Dennis tampak salah tingkah, dan tertangkap dari sudut mataku, Reno menahan senyuman.

"Sori! Lo nggak apa-apa?" Dennis kelepasan ber-elo-gue denganku.

Aku mengipasi lidahku yang terasa melepuh, sementara Reno melenggang kembali ke tempat duduknya dengan cool.

The Love ScriptTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang