"Bokap lo udah meninggal?" ulangku tak percaya.
Seno mengangguk.
"Tapi waktu pertama kali gue ketemu nyokap lo, dia bilang..."
"Bokap gue lagi ke pabrik, kan? Nggak, Mik. Dia udah meninggal."
Aku menatap wajah sendu Seno tak percaya.
"Bokap gue kena serangan jantung waktu gue naik kelas tiga SMP. Dan nyokap gue masih nggak bisa terima kepergian dia sampe sekarang. Sekarang sih udah nggak terlalu parah, cuma kadang-kadang dia suka 'lupa' kalo bokap gue udah nggak ada. Tapi dulu dia... yah, bisa dibilang hampir gila."
Aku menekap mulutku. Mataku memanas karena buncahan simpati yang mendadak kurasakan untuk cowok ini.
"Gue pikir nggak ada yang lebih berat dari beban yang gue alami. Sejak itu gue harus nopang kehidupan nyokap gue dan gue sendiri. Gue mulai stres. Tololnya gue malah ngebuang-buang uang asuransi bokap gue dengan nge-drugs. Hidup gue makin kacau, dan saat itulah gue kenal Risa.
"Pertama, dia prihatin ngeliat kondisi gue dan nyokap gue yang serba kekurangan. Tantenya nawarin gue kerja di peternakan ini, yang dulunya milik mereka. Gue tolak karena gengsi gue yang kelewatan. Risa ngebujuk gue, dan akhirnya gue kerja sambilan di sini.
"Hasilnya lumayan, gue bisa pake buat makan dan...terus nge-drugs. Tapi saat itu kami berdua udah deket dan mulai pacaran, dan gue udah tau kalo ternyata dia lebih parah dari gue, yatim-piatu. Kakaknya juga ngejauh darinya semenjak kematian orangtuanya. Dia nggak tahan itu. Jujur, saat itu gue ngerasa gue lebih beruntung dari Risa, gue masih punya nyokap, walaupun keadaannya nggak kayak dulu. Dan gue mulai sadar nggak ada untungnya gue nge-drugs. Dan gue takut kalo Risa jadi kayak gue, jadi gue terpaksa mutusin Risa. Tapi Risa malah makin stres dan ketakutan gue terjadi. Dan semenjak itu, Reno fix benci sama gue."
Seno mengakhiri ceritanya dengan tertawa kecil, "Bonusnya, gue jadi benci diri gue sendiri."
Akhirnya pertahananku runtuh. Aku berlutut di hadapannya dan menggenggam erat kedua tangan Seno. Cowok itu terisak pelan, tangannya balas menggenggam tanganku, gagal berusaha terlihat kuat.
"Gue masih sayang sama Risa, Mik.... gue harus gimana?" Seno terdengar putus asa di tengah isakannya.
"Lo cowok baik. Lo temen gue yang paling baik. Risa nggak nyalahin lo jadi jangan terus-terusan nyalahin diri lo sendiri, Sen."
Aku menatap Seno sungguh-sungguh. Wajah kami basah oleh airmata.
"Gue yakin Risa juga masih sayang sama lo. Dan kalo lo mau ngejelasin ini semua ke Risa, dia pasti mau nerima lo."
"Dan Reno?"
Aku mendengus geli, "Reno juga manusia, Sen. Lagipula waktu Risa bilang Reno ngejauh dari dia pas orangtua mereka meninggal, sebenernya Reno bilang ke gue dia pengen bikin Risa lebih mandiri. Dia pengen Risa nggak terlalu tergantung sama siapa-siapa mulai saat itu. Cuma caranya agak salah..."
Aku mengingat wajah Reno saat mengakui itu padaku di lapangan tenis. Sorot matanya yang biasanya dingin dan cuek terlihat lain. Kali itu matanya memancarkan kelembutan yang amat sangat, memberitahuku rasa sayangnya yang begitu besar pada adik satu-satunya itu.
"Dia sayang banget sama Risa. Dia pasti ngerti. Sekarang tinggal gimana caranya lo bisa yakinin Reno." tambahku, menguatkan Seno.
Akhirnya, Seno tersenyum. Kami saling tersenyum dan tertawa, dengan mata sembab dan suara sengau. Cowok itu menghapus air matanya dengan punggung tangan.
"Lo kok kayaknya paham Reno banget ya? Udah seberapa deket kalian sampe dia mau cerita ke lo masalah personal kayak gitu?"
Wajahku serasa ditempeli setrika panas, "Jangan rese, deh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love Script
Teen FictionLiburan ke Puncak: check. Sobat cewek yang asik: check. Cowok-cowok yang baru dikenal: ...check? Mika sempat yakin liburannya dan teman-temannya bakal jadi all-girls-holiday. Tapi kenapa mendadak harus ada cowok, sih? [Friendship, Teen-Romance, Holi...