7. Isterimu, Jadi Sahabatku (2)

3.6K 202 0
                                    

"Ketika Cinta pada manusia membuatmu menjadi lalai, maka tinggalkanlah!
Sebaliknya, Perjuangkan dia jika cintamu padanya semakin membuatmu makin dekat pada sang pencipta ..."

🍁🍁🍁

Seketika roda duaku melaju, mengikuti Habibi yang tengah mengendarai sepeda motor dengan penumpang istimewa di jok belakang, yaitu Istrinya ...

Perlu waktu tempuh sepuluh menit, jarak dari sekolah menuju rumahnya.
Tiba di pelataran depan, aku terhenyak meyaksikan rumahnya yang kecil namun asri.

Desau angin menerpa halus pori kulitku, membuatku semakin gugup. Entah bagaimana cara melenyapkan rasa yang menyesakan dada ini.

"Mba Inayah, mari masuk! Selamat datang di gubuk saya" ucap Mba Rani mengagetkan aku dari lamunan.

"Oh iya mba, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, silahkan duduk mba!"

"Terima kasih."

"Mba Inayah mau minum apa?"

"Tidak usah repot-repot Bu, eh Mba Rani ..."

"Tidak apa-apa, sekalian saya mau buatkan untuk Bang Habibi. Oiya Abang mau kopi atau teh?"

"Apa saja, Dek. Jangan manis-manis ya!"

"Baik, Bang. Sebentar ya mba Inayah."

"I ... iya, Mba" jawabku gugup, terlebih tatapan Habibi sejak tadi tertuju padaku terus.

🍃

"Bagaimana Inayah, apakah sudah dapat calon kreditur baru?"

"Apa ... Maaf, tadi mas ngomong apa?"

"Kamu melamun ya?" Ucapnya sambil terkekeh.

"Maaf saya kurang fokus, tadi Mas Habibi bilang apa? Bisa tolong diulangi ...!" 🙏

"Saya tanya apakah kamu sudah dapat calon kreditur baru?" Jawabnya disertai senyum menghiasi wajahnya.

"Oh Alhamdulillah, Mas. Kemarin saya dapat enam calon kreditur baru yang siap disurvey hari ini. Apa bisa?"

"Alhamdulillah, tentu saja bisa. Sekarang baru jam tujuh pagi. Bagaimana kalau jam sepuluh saja nanti bersama kita ke rumah calon krediturnya?"

"Tapi nanti saya menghubunginya bagaimana, Mas?"

"Kamu di sini saja dahulu dengan istri saya, keberatan tidak? Saya ada janji juga jam setengah delapan nanti untuk survey ke rumah calon kreditur di tempat lain."

"Baiklah, tapi apa tak apa-apa kalau saya menunggu di sini?"

"Tidak apa-apa santai saja! Sebentar, itu dia istri saya datang. Dek, sini dech!"

"Baik, Abang. Nah ini mba Inayah silahkan di minum, ini untuk Abang. Maaf ya mba Inayah, seadanya."

"Tak apa Mba, justru saya tak enak hati. Bikin mba jadi repot."

"Ah tidak, santai saja. Oh iya Bang ada apa tadi memanggilku?"

"Soal ponsel ..."

"Oiya aku lupa, sebentar ya aku ambil dulu."

⏩ Lima menit berlalu ...

Mba Rani datang dengan membawa sebuah ponsel di genggamannya.

"Mba Inayah, suami saya sudah menjelaskan pada saya tentang kerjasama yang dibangun dengan Mba Inayah. Saya sangat setuju, masalah ponsel juga Bang Habibi sudah menjelaskan. Tidak perlu meminjam, saya memberikannya khusus untuk Mba Inayah. Ini tolong diterima! ponsel ini sudah dua tahun tak terpakai. Masih berfungsi, meskipun jadul ... Tolong jangan ditolak ya, Mba!"

"Aduuh Mba, saya jadi merasa bersalah dan ga enak hati. Terlalu banyak Mba dan Mas Habibi membantu saya, sebenarnya dengan diberi peluang bagi saya mendapat rezeki saja itu sudah sangat membantu. Karena saya tidak mungkin mencari pekerjaan yang terikat waktu, sedangkan anak-anak saya masih terlalu kecil untuk ditinggalkan."

"Tidak apa-apa tolong diterima saja ya, kalau Mba gunakan saya sangat merasa senang. Jadi bermanfaat, lagipula saya takut nanti jadi fitnah kalau Mba Inayah dapat calon kreditur lalu menghubungi Bang Habibi melalui Pak Malik."

"Tapi, maaf sekali lagi bukan saya ada niatan mau menolak tawaran Mba Rani. Saya rasa tanpa ponsel ini tak jadi masalah, karena saya sudah tau rumah Mba dan Mas. Jadi ... kalaupun saya dapat calon kreditur, bisa langsung datang ke sini untuk memberi kabar."

"Ehemmm ... Inayah, itu tak efektif karena bisa jadi saat nanti kamu datang ke sini pas posisinya saya atau istri saya sedang tak ada di rumah. Saya khawatir akan jadi fitnah juga dari tetangga di sini, saya hanya ingin menjaga nama baik kamu. Makanya masalah kerjasama kita pun tak luput dari sepengetahuan istri saya, supaya tidak ada kesalah fahaman di lain waktu."

"Iya sich, Mas, Mba ... Saya hanya merasa terlalu banyak merepotkan kalian."

"Tidak ada yang merasa direpotkan di sini, Lillahi ta'ala saya ikhlas. Dan ponsel ini tidak seberapa harganya, daripada rusak karena tak pernah dipakai, akan lebih bermanfaat kalau digunakan. Saya percaya pada suami saya, karena telah jujur mengatakan semuanya pada saya. Dan saya juga percaya Mba Inayah wanita yang baik, diterima ya. Semoga ikhtiarnya mencari kreditur dimudahkan, dilancarkan. Aamiin ..."

"Aamiin" jawabku dan Habibi bersamaan.

"Kalau begitu saya terima ya, Mba Rani, Mas Habibi. Terima kasih banyak. Kalian keluarga yang sangat baik dan penuh kepedulian, semoga langgeng Sakinah, mawwadah, warrahmah dunia akhirat. Aamiin" 🙏

"Aamiin" jawab mereka serempak.

"Kompaknya Mba Rani sama Mas Habibi" ucapku sambil tersenyum.

Habibi dan Mba Rani menimpali dengan tertawa, entah mengapa aku merasa nyaman kenal mereka. Tambah kekagumanku pada Habibi, ia adalah sosok suami yang jujur. Tak ada yang disembunyikan dari istrinya.
Tidak seperti aku yang entah sejak kapan mulai mengaguminya secara diam-diam. Eh, maksudnya ...?

🍁🍁🍁

Halal Kah? (Tamat) Poligami SeriesDonde viven las historias. Descúbrelo ahora