17. Kau dan Aku (Kita)

3.7K 210 6
                                    

"Bukti cinta yang paling besar itu ialah, saat saling mengajak untuk mendekatkan diri pada Rabb'nya ..."

🌹🌹🌹

Sebulan kemudian ....

Sejak kejadian kecelakaan sebulan yang lalu, hari ini aku dinyatakan sudah sembuh dan sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter.

Lama sekali?

Tentu lama, karena luka yang kualami tidak hanya di luar saja saja, tak hanya fokus pada luka yang dijahit! Tulang panggulku mengalami keretakan, yang mengharuskan aku untuk menjalani terapy sampai benar-benar pulih.

Selama sebulan itulah, hubunganku dengan Habibi kian intens, kedekatanku dengan Mba Rani pun makin erat. Hingga akhirnya seminggu yang lalu ... tanpa diduga ....

Flashback On

Habibi datang bersama Mba Rani, juga sepasang Suami Istri paruh baya, menemani kedatangan mereka.

Awalnya aku biasa saja, karena kufikir kedatangan mereka hanya sekedar menjenguk seperti biasanya. Saat itu bertepatan Ibu dan Bapak ada di sini menjagaku, setelah berbincang selama satu jam. Tiba-tiba ...

"Jadi begini Bapak, Ibu ... Berhubung kita sudah saling berkenalan, saya mau memulai topik inti dari kedatangan kami kesini.
Inayah ... Saya selaku Istri dari Bang Habibi, datang kesini dengan niat baik, yaitu hendak melamar kamu menjadi Istri untuk Suami saya? Sudikah kiranya kamu menerima lamaran ini dan menjadi Adik Madu saya?" Ucap Mba Rani dengan sangat lancar.

"Tunggu! Dik Rani, apa saya tidak salah mendengar?" jawab Ibuku memotong pembicaraan.

"Tidak Bu," jawabnya dengan senyum yang khas.

"Bapak dan Ibu dari Nak Inayah, maaf saya ikut bicara. Selaku orangtua dari Habibi, saya pun meminta dengan sangat hormat ... Apakah bersedia Putri anda kami khitbah untuk menjadi Istri dari Putera kami? Tapi ... Ya seperti ini keadaannya, Habibi sudah memiliki Istri dan Anak. Seandainya Nak Inayah menerima pinangan ini, apakah Bapak dan Ibu ridho?" Ucap Ayahandanya dengan sopan.

"Segala sesuatunya saya serahkan kepada keputusan Putri saya, jika Inayah menerima pinangan ini. Insya Allah saya dan Istri Ridho lillahi ta'ala, karena apa yang terjadi ... Kami yakin itu adalah ketentuan yang sudah Allah SWT gariskan menjadi suratan takdir Inayah. Bagaimana dengan jawabanmu, Nak?" Ucap Bapakku sangat bijak.

"Mmm ... Saya harus jawab apa? Jujur saya terkejut. Mba Rani, apakah Bang Habibi memaksamu? Atau kalian sedang ada masalah?"

"Tidak, hubungan saya dan Bang Habibi dalam keadaan baik. Saya lihat Bang Habibi sangat bahagia sejak mengenal kamu Inayah. Terlebih setelah mendengar pengakuan dari Bang Habibi sendiri beberapa hari yang lalu, bahwa ia mulai mencintaimu."

"Apakah Bang Habibi mengancam Mba Rani?"

"Tentu tidak! Bang Habibi meminta izin pada saya untuk berpoligami, seandainya saya tak merestui ... Bang Habibi tak akan memaksakan kehendak. Saya perhatikan, entah dari sudut pandang yang mana, kamu juga sepertinya mulai menyukai suami saya."

Aku hanya bisa terhenyak mendengar penuturannya.

"Inayah ... Saya mau buktikan, seperti yang pernah kita bahas saat itu. Dari pada saya membiarkan Suami berdosa. Karena zina mata, hati dan fikiran, lebih baik saya merelakan beliau untuk ber'poligami. Masalah adil atau tidaknya, saya serahkan pada Allah SWT. Dan ... Daripada kita saling menyaingi, bukankah lebih baik saling menyayangi? Terlebih, jujur saja saya sudah sangat menyayangimu, seperti Adik saya sendiri."

"Seandainya saya menerima pinangannya, saya takut nanti Mba akan menyesal dengan keputusan ini."

"Insya Allah tidak akan saya menyesali semua yang saya ucapkan, juga yang saya perbuat di hari ini. Saya justru bersyukur, Suami saya mencintai wanita yang baik, soleha, bahkan yang juga saya sayangi. Saya yakin kamu pasti bisa menyayangi saya juga. Sebagaimana saya menyayangi kamu. Bersediakah kamu menerima pinangan ini? Maukah kamu menjadi Istri untuk Suamiku, sekaligus menjadi Adik maduku?"

"Masya Allah, penjelasanmu sangat menenangkan hatiku, Mba.
Aku bingung, harus jawab apa?"

"Jawablah Inayah! Seandainya di hatimu tak ada rasa sayang untukku, aku ikhlas dan siap menerima penolakanmu. Kan kita masih bisa tetap bersaudara, meski tanpa ikatan," ucap Bang Habibi dengan lembut.

"Apakah Abang menyayangiku?"

"Sangat ... aku sangat menyayangimu, sama seperti aku menyayangi Istriku. Aku tak ingin rasa sayang ini berbuah dosa. Kedekatanmu dengan Rani membuatku ingin menyatukan kalian menjadi Saudari yang bisa bersatu, hingga ke Jannah. Apakah kamu bersedia?" ucapnya lagi.


"Apakah setelah menjadi istrimu, Abang bersedia bersikap adil di antara kami?"


"Insya Allah saya akan memperlakukan kalian seadil mungkin, bahkan saya akan menyayangi Anak-anakmu sama seperti menyayangi Anak saya sendiri. Jika kelak saya berat sebelah di antara kalian, saya mohon kalian bekerja sama yang baik untuk mengingatkan saya, menasihati saya, juga membimbing saya!"

"Tapi seandainya saya jadi Istri kedua, saya tak mau dinikahi secara siri. Saya ingin dinikahi resmi, diakui baik secara agama maupun negara. Apakah Abang sanggup?"

"Masalah itu sudah saya rundingkan dengan Orangtua saya, Alhamdulillah beliau bisa bantu mengurusnya. Apakah dengan bertanya seperti ini, kamu bersedia menerima pinangan ini?"

"Sebentar! Mba Rani ikhlas? Ridho?"

"Demi Allah kalau orangnya kamu, saya sangat ikhlas dan Ridho. Saya sangat menyayangimu, Inayah ...."

"Baik kalau begitu ... dengan mengucap Bismillah saya terima pinangan ini, Insya Allah saya siap menjadi Istri dari Bang Habibi, juga saya bersedia menjadi Adik madu untuk Mba Rani."

"Alhamdulillah ... Barrakallahu ...," jawab seisi ruangan serempak.

🍁🍁🍁

Halal Kah? (Tamat) Poligami SeriesWhere stories live. Discover now