Chapter 7

734 56 0
                                    

"BUKA!!!! COWOK BRENGSEK! PENIPU! BUKAAAAA!!!!"

Nanaz benar-benar tak percaya dia dikadali oleh pria sialan yang sok-sokan berlagak ingin membantunya kabur dari tempat terkutuk baginya ini. Fine, Nyai dan Hasna memang masih sebaik dan seperhatian yang Nanaz ingat, tapi sumpah, Nanaz tidak mau terkubur hidup-hidup di pesantren sialan ini. Dia tidak mau Ayahnya mengatur hidupnya lagi. NAnaz akan buktikan bahwa dia bisa mandiri, hidup tanpa orang tua dan dia akan membuktikannya.

"BUKAAAA!!!!"

.

.

Ceklek.

Nanaz mundur selangkah lalu bersiap menyerang pria yang sudah menipunya mentah-mentah.

"BRENG-"

Nanaz membeku. Di hadapannya kini bukan laki-laki brengsek yang sudah mengunci dirinya di perpustakan berisi buku-buku tebal dengan sampul usang yang tidak membuat Nanaz tertarik sama sekali, melainkan wajah teduh yang tersenyum kepadanya.

Nanaz masih mengepalkan tangannya dan melihat wajah teduh yang berusaha ia ingat itu.

"Ummi." Cicitnya menurunkan tinjunya yang lalu disambut senyum cerah secerah mentari pukul 10 pagi ini.

"Assalamu'alaikum, neng geulies." Sapa wanita bersuara lembut itu. Sayangnya, Nanaz tak meresponnya. Malah suara di belakangnya yang menjawabnya, suara si Brengsek yang sedang tidak ingin ia pedulikan.

"Assalamu'alaikum, putri Ummi yang paling cantik di dunia." Sapa lagi si Wajah Teduh dengan senyum yang tak luntur sedikitpun, yang masih dijawab oleh si Brengsek yang berada di belakang kursi roda Hasna.

Bulir kristal tergenang di sudut mata Nanaz. Itu adalah panggilan sayangnya yang biasa ia dengar kala ia berkunjung ke tempat ini, tempatnya menghabiskan liburan panjangnya dengan orang tua keduanya ini.

Tanpa sadar, bulir kristal itu telah menganak sungai di wajah Nanaz yang sudah berhijab meski hijab itu kini berantakan karena aksi rebelion dan amukannya di perpustakaan itu.

"Ummiii..." cicitnya mulai sesenggukan, membuat si Wajah teduh tersenyum lega. Gadis mungil yang sudah ia anggap sebagai putrinya itu masih mengenalinya.

Tak perlu lama, Si Wajah teduh yang dipanggil ummi oleh seluruh penghuni ponpespun mengambil si Cengeng ke pelukannya. Mengalirkan kasih sayang kerinduan yang dalam. Membuat si Cengeng tak kuasa lagi menahan air matanya.

"Ssshh.... putri ummi kok cengeng. Ayo kita ke rumah. Ummi dan Abi mau bicara sama Nanaz. Boleh?"

Nanaz hanya mengangguk di pelukan ibu keduanya yang ternyata sangat ia rindukan itu.

Sedang Hafidz yang melihatnya hanya terpana. Si Gemuruh Jiwa berubah lagi sikapnya. Membuatnya iri saja. Seumur-umur, Hafidz sepertinya tidak ingat kapan terakhir  ia dipeluk ummi yang dicintainya itu.

Maklum saja, genap usia 7 tahun, Hafidz si anak pemilik ponpes Darus Salam langsung dipondokkan di provinsi lain. Biar mandiri kata Abinya, biar tidak bergantung pada orang tua.

Lepas usia SMA, Hafidz langsung menimba ilmu di Kairo. Tak tanggung-tanggung, 2 gelar berturut-turut ia dapatkan di sana. Setelah itu pun dia sibuk dengan kegiatan sosialnya dan dengan pekerjaan di luar ponpes. Sampai tak terasa usianya sudah menginjak 25 tahun. Hafidz yang pulang hanya sesekali dan di hari raya begitu sungkan pada orang tuanya, tidak seperti si Cengeng yang masih saja melendot pada umminya sepanjang jalan.

Meski begitu, itu adalah pemandangan yang indah bagi Hafidz. Pemandangan ibu dan anak tak sekandung yang rasa-rasanya melebihi ikatan kandung. Rasa penasaran lain mengetuk pikiran Hafidz. Sebenarnya apa yang terjadi pada orang tua si Cengeng hingga ia harus dititipkan paksa di Darus Salam. Ah, Nanaz! Segala tentang gadis itu menggelitik rasa ingin tahu Hafidz yang belum beranjak sedikitpun.

"Ehem.. ehem.."

"Ehem..ehem.."

Hafidz tergelak dan melihat Hasna sudah tersenyum penuh arti di sampingnya. Apa dari tadi kakaknya itu menyadari jika adiknya tengah melamunkan seorang gadis?

"Astagfirullah, Teteh. Ngagetin aja." Ujar Hafidz sambil mengusap dadanya. Membuat sang kakak terkikik. Tingkah lucu Hafidz sangat membuat dirinya tak tahan untuk menggodanya.

"Sabar. Sebulan lagi juga akad, adikku." Ucapnya membuat kerutan muncul di dahi Hafidz.

"Maksud teteh?" Tanya Hafidz takut-takut salah paham.

"Memang kau masih belum tahu. Itu dia calonmu akang ganteng. Alya Syahnaz, calon adik iparku." Ucapnya pelan setelah memastikan tidak ada santri atau petugas ponpes di sekitar mereka.

Hafidz membesarkan matanya tak percaya. Apa kata kakanya tadi? Siapa tadi namanya? ALYA SYAHNAZ?

'Alya Syahnaz?'

'MasyaAllah. MasyaAllah. Dia... calon hamba, Rabb?'

Tanpa sadar air mata Hafidz jatuh tak terkendali. Kakaknya tahu adiknya itu jatuh hati pada tamu mereka. Itulah kenapa Hafidz sampai mengunci kamarnya kemarin, itulah kenapa adiknya tak mengatakan bahwa ia telah melihat Nanaz yang tak berhijab saat itu. Sang adik berusaha menahan hasratnya, seperti apa yang disyari'atkan.

"Ambilah wudhu, dan sujud syukurlah. Menangislah padanya yang telah mendekatkan jodohmu, Fidz. Tidak semua orang beruntung mendapatkan kekasih yang dicintainya. Tidak semua orang." Ucap sang kakak lalu mengucapkan salam, pergi meninggalkan sang adik dengan haru .

"Wa'alaikumus salam warahmatullaah." Jawabnya selirih mungkin, berusaha setenang mungkin.

Hafidz menyeka air mata bahagianya yang membuncah dan menujukan kakinya ke Masjid ponpes dengan tangan yang mengepal tak sabaran. Mumpung para santri masih di kelas, mumpung dhuha masih menggeliat. Hafidz akan menghabiskan air mata dalam tiap sujudnya, sebagai syukurnya atas nikmat Tuhannya yang tak terkira.

.

.

.

.

Hamba tak meragukan kuasaMu, Ya Rabb.

Tidak sekalipun.

Hamba memasrahkan segalanya pada ketentuanMu, Ya Rabb.

Hanya padamu.

Dan lihatlah bagaimana Engkau membolak-balikkan hati hamba yang kecil ini.

Lihatlah bagaimana Engkau mengirimkam bahagia ke dada ini.

Maka nikmat mana lagi yang bisa kudustakan, Ya Rabb?

Tat kala apa yang tak terucap saja Kau singkap dengan kehendakMu.

Maka nikmat mana lagi yang bisa kudustakan , ya Rabb?

Ketika ridhoMu telah menjamah cinta hamba yang hina ini.

Fabi ayyi 'aalaa irabbikumaa tukadzzibaaan.....

Fabi ayyi 'aalaaa irabbikumaa tukadzzibaan....

.

.

.

Dan ketahuilah, bahwasannya, akan masuk surga seseorang dengan cinta di hatinya, tapi cinta itu tidak menjadikannya lupa. Sebagaimana Hafidz menahan rasa cintanya, sebagaimana ia memasrahkan hatinya pada si Empunya, Allah Ta'ala yang Maha Kuasa.

Allah telah membuktikan pada hambanya yang insyaAllah sholeh di jalan istiqamahnya, bahwa rencana Allah itu selalu indah, bahwa rencana Allah tak pernah salah.

Dan air mata yang membasahi sholat dan sujud Hafidz di akhir dhuha itu menjadi bukti syukurnya pada Ilahi.

"Lain syakartum la-adziidannakum, wala-in kafartum inna adzaabii lasyadiiid__maka syukurilah nikmat-Ku, niscaya akan kutambahkan, tapi jika kau kufur, maka sungguh, azab-Ku sangatlah pedih." (Q.S. Ibrahim : 7)

SURGA DI TAMAN HATIOù les histoires vivent. Découvrez maintenant