Chapter 33

652 50 2
                                    

Reza's POV

Kalian tahu apa yang paling membahagiakan dalam hidup ini?

Bagiku, ialah menikah dengan wanita yang aku cintai. Hasil memang tak mengkhianati usaha. Itulah yang aku dapatkan sekarang. Aku di sini, di pelaminan megah 4 jam yang dipenuhi seribuan tamu undangan. Kami memang tidak ingin menjadi pajangan sehari semalam, resepsi hanyalah formalitas. Yang penting sah-nya. Eaa..

Yah, walaupun kami, terutama aku, sedikit kewalahan menghadapi istriku yang sangat sentimentil. Bayangkan saja, dia terus saja menangis saat akad. Mungkin karena keluarga Bandungnya tidak jadi datang, entah karena apa. Mungkin juga karena memang berat baginya membuka lembaran baru denganku, karena aku tahu, dia masih belum melupakan lembaran lamanya. Walau dia bilang tak usah mengecek CCTV itu lagi, dan bilang tak mau membuktikan apapun lagi, tapi aku sangat tahu kalau dia belum melupakan suami pertamanya itu.

Tapi aku ini Reza, aku bukan orang yang mudah menyerah. Tahun pertama aku mengenal Nanaz, kerjanya hanya terus mengabaikanku dan bahkan berusaha menghindariku, baru setelah masuk tahun kedua, dia mulai sedikit-sedikit mencoba menerima kehadiranku yang membosankan dan tingkah lakuku yang menyebalkan. Hehe. Tentu saja. Wong aku terus saja mengganggunya. Jadilah pria kalem, niscaya Nanaz takkan menggubrismu. Haha. Istriku itu memang benar-benar.

Semua berkat abangku. Dialah yang memberiku tips-tips menjinakkan merpati Darus Salam itu. Abangku bahkan bersedia mendanai project TAMAN HATI yang memberiku seribu satu alasan untuk berjumpa dengan pujaan hati. Yes!

Bicara tentang abangku, dia adalah penasehat cinta yang hebat, well, walau dalam prakteknya pernikahannya gagal saat masih seumur jagung, tapi sungguh, semua nasehat Abang membuatku semakin dekat dengan Nanaz, aku bahkan berhasil menembus benteng keluarganya, menjadi calon mantu idaman keluarga Mahendra. Ahai..

Setelah mendapat izin dari keluarga, aku mulai melamarnya. Naas, beberapa kali melamar jawabannya, selalu no, no dan no. Huh, dasar gunung es. Ya, tapi balik lagi, ini aku, Reza Alawiyah Sang Pejuang Cinta Sejati hahaha. Dan, akhirnya dengan kedegilanku, dia mau juga menerima pinanganku. Barakallah!

Hatiku sempat hancur ketika mendengar percakapannya dengan sahabatnya, bodohnya, aku malah membantunya mencari suaminya yang sudah tiada itu. Tapi untunglah sekarang dia telah sah menjadi Nyonya Muda Alawiyah, mau ternyata Hafidz Hafidz itu hidup kembali atau apa, aku akan tetap mempertahankan istriku. Dialah surgaku di dunia ini, wanita yang akan melahirkan keturunan-keturunanku dan dengan membayangkannya saja, sudah membuatku membuncah bahagia.

"Sayang, apa kau masih lama di dalam? Suamimu sudah lumutan ini...." Panggilku karena Nyonya muda masih saja betah di kamar mandi, sedang aku sudah segar bugar dan full energy. Aku sudah mandi lebih dahulu tadi dan bahkan minum minuman penambah energy. Mantap.

Tak ada jawaban. Apa dia sangat gugup hingga mengunci diri di kamar mandi.

"Jangan lama-lama ya, aku sudah setengah jam nunggu ini loh..." tambahku.

Dengan senyum yang terkembang aku naik ke ranjang dan menyetel televisi, menunggu 3 tahun aja aku sanggup, masa menunggu mandi tak sanggup.

Sanggup, cuma sindrom malam pertama benar-benar menyiksaku. You know what i mean right? Si Dede sudah mulai merengek-rengek minta main sama biangnya. Astagfirullah, Za Za... Lambehmu itu... hahahahaha. Apa semua orang jadi gila di malam pertama?

*

Ini mulai aneh. Aku melirik jam di hotel berbintang tempat kami menginap.

Astagfirullah! Karena keasikkan menonton aku tak sadar jika sudah 2 jam berlalu dan Nanaz belum juga keluar dari kamar mandi? Ada yang tidak beres. Aku harus mengeceknya.

"Sayang! Naz! Naz... buka pintunya! Are you okay?"

Nihil. Berkali-kali aku menggedor bahkan berteriak memanggilnya, ia tak kunjung bereaksi. Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus mendobraknya.

*

Dan hatiku hancur melihatnya. Dia istri yang harusnya bahagia di malam pertamanya, tapi lihat apa yang terjadi! Dia, dengan gaun dan asesoris yang masih lengkap yang melekat di tubuhnya, asik menikmati guyuran shower yang sudah membuat tubuhnya menggigil dan bibirnya membiru. Apa Nanaz tak bahagia bersamaku? Apa aku telah salah karena memaksanya menerimaku?

"Astagfirullah, Naz! Apa yang kau lakukan?" Pekikku lalu mematikan shower yang mungkin sudah menyala selama dua jam itu.

Dia makin beringsut ketika aku mendekatinya. Dia... tak ingin kusentuh?

"Afwan Za, afwan, hukum saja aku, tapi aku mohon, jangan menyentuhku. Aku mohon. Aku mohon." Isaknya meringkuk di lantai yang sedingin es.

"Kita bicarakan nanti. Ayo kita urus dulu dirimu. Demi Allah Naz! Kamu bisa sakit."

Si Batu masih saja menggeleng. Apa segitu takutnya dia aku sentuh? Aku bahkan punya hak menyentuhnya.

"Jangan main-main Naz! Kamu sudah menggigil." Ucapku tegas.

Dia masih saja menggeleng. Kesabaranku habis. Aku menarik dan menggendongnya paksa, meski ia meronta-ronta. Dia sudah sangat kacau, tampangnya seperti mayat hidup dan dia masih saja menggeleng. Ya Allah!

Aku menjatuhkannya di kasur, berusaha untuk melepaskan semua yang melekat di tubuhnya karena semuanya telah basah. Bagaimana bisa seseorang dengan iman yang kuat bisa sampai seperti ini? Nanaz seperti orang yang tak punya pegangan saat ini.

*

Dengan susah payah aku berhasil membuka penutup kepalanya meski dia tak berhenti berteriak dan meronta. Untunglah kami menginap di president suit, jadi tak mungkin ada yang bisa mendengar jeritannya.

Aku tidak peduli dengan teriakannya, saat ini aku harus mengganti bajunya yang basah kuyup sebelum dia benar-benar sakit.

"CUKUP! HENTIKAN! JANGAN LECEHKAN AKU LAGI! SUDAH CUKUP AKU MEMBAYAR SEGALANYA DENGAN MENIKAHIMU. APA ITU TIDAK CUKUP?"

"Apa? Melecehkanmu? Membayar segalanya? Apa yang kau ocehkan sebenarnya?" Tanyaku sungguh tak mengerti.

"Aku mohon Za. Aku mohon. Aku tahu aku berdosa karena tidak menjalankan tugasku sebagai seorang istri, tapi aku tak bisa. Aku benar-benar tak bisa."

Aku melihat Nanaz yang sudah bersimpuh di kakiku. Dia menarik celana bahanku yang sudah basah karenanya. Apa ini? Inikah kebahagiaan malam pertama yang harus kuterima?

"Aku tidak akan memaksamu sekarang jika memang kau belum siap, tapi tak perlu menyakiti dirimu seperti ini. Aku terluka Naz. Aku terluka." Ucapku setelah membangkitkannya. Kupegang kedua bahunya yang gemetar, sedang dia hanya tertunduk sambil terus menangis.

"Aku harus apa Za? Aku harus apa? Semuanya terlalu berat untukku. Rasanya aku ingin mati saja. Apa aku harus mati?"

PLAK.

Aku-menamparnya. Segitu parahkah menikah denganku hingga ia lebih menginginkan kematian? Aku menatapnya yang masih saja tertunduk dan menangis. Kulihat pipinya memerah karena tamparanku. Ya Allah! Apa yang sudah aku lakukan? Aku telah menyakitinya dengan tanganku sendiri.

"Aku tidak akan mengganggumu malam ini. Bersihkan dirimu dan pastikan handphonemu aktif. Aku akan menjemputmu besok. Room service akan mengantarkan makanan dan pastikan kau memakannya. Dan jangan khawatir, aku- tidak-akan-menyentuhmu."

Dan kudengar rintihannya lagi, membuatku pilu, membuat hatiku hancur berkeping-keping. Hilang sudah kebahagiaan malam pertama yang aku bayang-bayangkan. Aku menikahi wanita yang kucintai, tapi sayangnya dia tak bahagia denganku. Apa yang harus aku lakukan?

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang