04. Afraid

145 25 138
                                    

"Sederas apapun hujan, itu bukan masalah. Asalkan tidak ada petir yang menemaninya."

~Gweny Arbell~

"Hujan!"

Halsey segera berlari dengan membawa payung setelah mendengar teriakan Gwen barusan. Gwen berteriak bukan karena takut hujan, tapi karena tiba-tiba ada petir yang mengagetkannya. Orang-orang di depan toko buku langganannya sampai melihatnya dengan tatapan sedikit konyol. Pasalnya, Gwen berteriak dengan keras tanpa menyadari dirinya ada di antara orang banyak saat ini. Cewek itu hanya bisa menutup wajah karena malu.

"Udah selesai milih bukunya?" Halsey langsung bertanya saat sudah berada di samping Gwen.

Gwen mengangguk, lalu Halsey meneduhi mereka berdua dengan payung yang dia bawa.

"Harusnya bawa mobil aja tadi," ucap Halsey.

"Nggak pa-pa kok. Lagian ini cuma hujan doang."

"Tapi bagaimana kalau nanti kau demam? Om Erwin pasti marah ke aku."

"Nggak masalah kok. Lagian juga udah biasa hujan-hujanan," Gwen terkekeh. Dia ingin berlari menembus hujan, namun segera ditahan Halsey. Erwin benar-benar akan mengomelinya habis-habisan jika melihat Gwen pulang dalam keadaan basah kuyup.

"Jangan kemana-mana. Tunggu bentar di sini," Halsey memperingatkan.

"Mau ke mana?"

"Beli payung satu lagi. Kalo cuma satu buat berdua kayaknya nggak cukup."

Gwen mengerutkan keningnya. "Kayaknya aku nggak gendut, deh."

"Iya nggak gendut kok. Tapi payungnya aja yang kekecilan."

Halsey memberikan payung itu pada Gwen, lalu dia masuk ke minimarket yang kebetulan ada di dekat mereka.

Gwen mengawasi cewek itu sejenak, lalu tersenyum licik. Kabur, ah.

Tanpa berpikir lebih jauh lagi, Gwen segera berlari dari sana, mencari tempat yang kemungkinan bisa membuatnya lebih santai. Dia bosan jika harus segera pulang ke rumah. Apalagi harus bertemu dengan setan sableng yang tidak pernah bisa melihatnya tenang.

Setelah 10 menit berjalan entah kemana, Gwen melihat ke belakang. Tidak ada Halsey di sana yang mengikutinya. Dia tersenyum lebar. "Kayaknya gue udah keterlaluan, deh. Balik nggak ya?" gumamnya seraya berbalik kembali, lalu berhenti. "Nggak, deh. Ntar langsung disuruh pulang."

Dia kembali berjalan menjauh. Sesaat kemudian, dia ingin berbalik lagi. Merasa ragu-ragu akan keputusannya sendiri. Hampir sepuluh kali dia mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas, tidak menyadari kalau di sana ada banyak orang yang mengamatinya.

"Oi, kayaknya otak lo udah mereng kali, ya?" Seseorang tiba-tiba menginterupsinya.

Gwen terkejut, lalu menoleh ke asal suara. Dilihatnya seorang cowok yang tidak terlalu asing sedang berdiri tidak jauh darinya seraya membawa bungkusan plastik. Entah apa isinya. "Lo lagi? Siapa? Asep?"

"Steve. Asem lo," cowok itu mulai kembali kesal setelah kekesalan pertamanya hilang karena diguyur hujan barusan.

"Iya itu maksud gue," jawab Gwen tanpa rasa bersalah.

"Apa-apaan? Jelas-jelas Steve sama Asep beda jauh, ogeb."

"Bodo amat. Siapa juga yang peduli sama nama lo?"

Steve meredakan amarahnya. Dia mengerti kalau orang di depannya ini butuh disiram air panas sekali-sekali, namun dia juga sadar kalau dia itu perempuan. Kata mamanya, anak perempuan harus disayang.

Bye Bye YesterdayWhere stories live. Discover now