MERAH PADAM

31 6 0
                                    

Merah padam marah atau malu yang menjalar ? Untuk sekian detik atau menit memang sulit membedakan sifat seseorang.

...

" Bukan dia orangnya, "

" Lalu siapa dong si Keiko yang Pak Badrul maksud Chi ? "

" Entahlah gue makin bingung , bentar lagi ujian , " Ochi menghela napas panjang. " kita istirahat sejenak lah gak perlu urusi kasus ini dulu. "

Sofyan mengangguk dan kepalanya ia belokkan pada seorang yang belum sadarkan diri tertunduk.

" Terus soal Keiko yang ini gimana ? Dia udah tahu soal kita dong ? "

Ochi malah keluar ruangan mendatangi ruangan Pak Badrul , " Permisi Pak ... "

" Masuk Chi, "

" Revaldo Andika bilang ia mendapat barang itu dari Keiko Pak, jadi tak ada salahnya kan kita coba interogasi dan selidiki ?"

" Maaf soal tim Bapak yang salah sasaran, namanya bukan Keiko. "

" Tapi tidak salah kan Pak kita mencoba ? "

" Ini berisiko Chi, "

" Tapi lebih berisiko lagi soal identitas kita Pak ... "


Pak Badrul memijat pelipisnya, ia mulai kehilangan rencana. Bahkan lelaki yang telah berkepala empat ini lupa tentang janjinya pada Sofyan dan Ochi mengenai istirahat sejenak misi dan kasus ini agar mereka bisa lebih fokus ke ujian semester ganjil.

" Kali ini saya yang akan selesaikan Keiko, kalian bisa pulang dan belajar sekarang. "

Ochi sudah siap membuka mulutnya untuk melontarkan sesuatu namun urung, ia mengerti kedudukan Pak Badrul yang mungkin super sibuk. Ochi telah membuang waktu Pak Badrul percuma.

Pak Badrul benar, ia dan Sofyan kali ini tak akan ikut campur lagi soal kasus ini. Setidaknya mereka sudah menemukan cahaya walau kadang sesekali redup. Seperti halnya kali ini.

" Pulang yuk Yan, "

Sofyan berdiri, memandang Ochi bingung. Bahkan ia pikir Ochi tak punya peri kemanusiaan soal Keiko yang terduduk lemah di kursi ruangan base camp.

" Keiko gimana ? "

" Lusa kita ujian, Pak Badrul nyuruh kita belajar. " ucap Ochi dengan nada lemah tak bersemangat.

Seolah tak acuh mengenai Keiko yang belum juga bangun dari bius Sofyan, yang entah apa obatnya dan seberapa besar kadarnya.

Hingga tiga jam sudah lelaki beralis tebal itu pingsan.


Sofyan sebenarnya masih belum tega meninggalkan Keiko, tapi ia mengingat kembali absennya yang Keiko tulis sedang Sofyan selalu hadir latihan. Sofyan menyusul Ochi.

" Balas dendam lo ? "

" Tadi katanya suruh pulang, belajar ?! "

" Pak Badrul yang urus nanti, "

" Terus kalo Keiko tahu tentang kita ? "

Ochi hanya menggidikkan kedua bahunya. Sofyan menuntun sepeda motor ke arah pintu keluar.

" Sepeda motor siapa ? Kayak kenal, " Ochi mencoba mengingat - ingat.

" Hehe ... Punya Mang Udin gue pinjem pas ikutin Pak Passal. "

" Kebiasaan. "

Pak Badrul keluar ruangan membawa dua buah helm mendekati Sofyan dan Ochi.

" Masih ingin hidup ? "

Sofyan dan Ochi melirik satu sama lain, menampilkan rentetan gigi. Mereka lupa akan keselamatan mereka sendiri.

Sofyan dan Ochi menerima helm dan memakainya sampai berbunyi, ceklik.

Tak lupa berpamitan dan mencium tangan Pak Badrul, "Assalamualaikum, " salam Ochi dan Sofyan berbarengan.

" Walaikumsalam. Jangan ngebut udah malam ini, " peringati Pak Badrul kembali.

Jalanan di kota Bandung kali ini sejuk oleh anginnya malam. Menampilkan cahaya - cahaya kerlipan lampu entah lampu kota di pinggir jalan ataupun pertokoan yang ingin menarik perhatian pelanggan.


Jalanan tak begitu ramai, padahal ini belum terlalu malam. Terlihat jam tangan yang Ochi lihat menunjuk jam setengah sembilan. Ia membelalakkan matanya, ia harus bersiap - siap mendengar ocehan yang selalu ia nanti dari sang Ayah.

Hari ini bukan Sabtu malam yang kalau lihat jalanan seperti penuh dengan perekat. Semua pengendara menempel di jalanan. Yang entah ke mana tujuan menuntun.

Sofyan masih menikmati angin semilir, yang ia lupakan sedikit ialah ia sedang membonceng Ochi , suatu hal yang langka. Kenapa ia tak memanfaatkan kesempatan ini.

" Chi," Ochi masih terdiam , Ochi masih menikmati sekeliling yang penuh dengan kerlap - kerlip lampu PLN. Walau kebanyakan yang sering muncul warna kuning atau merah padam.

" Chi , " panggil Sofyan lagi.

Kali ini membuat wanita yang merasa memiliki nama itu tersentak , " Eh, iya ada apa ? "

" Gak mau mampir makan gitu ? " ujar Sofyan sedikit keras, angin malam yang semilir ternyata sedikit memberi efek suaranya.

" Gak usah deh, udah malem makan di rumah aja. "

" Takut sama Ayah lo ?"

Ochi menggeleng meski Sofyan tak akan tahu. Lelaki ini menatap arah ke depan apalagi motor bebek Mang Udin tak memiliki spion.

Sofyan menghentikan motornya di kedai lalapan pinggir jalan.

" Kenapa berhenti ? "

" Gue laper, "

" Tapi gue enggak, "

" Kita punya perut masing - masing kan ? Lo gak , gue laper. "

" Ih, Sofyan ... " rengek Ochi. Sofyan tahu jika perut Ochi dari tadi juga berbunyi hanya saja rasa lapar Ochi di kalahkan rasa takut kena marah ayahnya.

" Nasi lalapan lele satu Bang, " Sofyan menoleh ke arah Ochi yang cemberut. " lo serius gak mau lapar ? "

" Lapar di minta ? " Ochi menghembus napas panjang." iya deh nasi sama ayam aja, "


Sofyan tersenyum sedikit lama di depan Ochi mencari tempat duduk lesehan, masih saja tersenyum melihat raut wajah Ochi antara khawatir dan lapar terasa menyenangkan bagi Sofyan.

" Gak usah terlalu di pikirin, tenang ada gue. "


Ochi melirik Sofyan merasa ada yang menanggung bebannya. Walau sedikit, ia merasa tenang. Selang beberapa menit mengusahakan memasukkan suap demi suap makanan ke dalam mulut, mereka beranjak pulang selepasnya.

Sebelumnya mereka harus membayar porsi yang mereka pesan. Jangan seperti Ujay, yang sering hutang.

" Biar gue aja, " tutur Sofyan melihat Ochi menyodorkan selembar uang.

Ia sebagai lelaki memahami identitasnya, bertanggung jawab. Sofyan yang mengajak mampir untuk makan.

" Kan punya perut masing - masing, "

" Ya gue aja gue kan yang ngajak, "

" Tapi gue juga mau, "


Untuk pertama kalinya Sofyan bersama perempuan yang rela berdebat untuk hal pembayaran. Biasanya ia yang selalu di tagih untuk mengeluarkan uang tapi kali ini ia malah di tagih untuk memasukkan kembali uangnya.


Ochi berbeda, benar kata Aldo.

" Patungan gimana ? "

" Tapi kan gue yang banyak tadi, "

" Kita bakal lebih lama lo Chi, "

Ochi mengingat kembali sang ayah yang pasti menunggu di ruang tamu penuh khawatir. Mungkin kali ini ia harus mengalah.

Sofyan ternyata tak seburuk apa yang dulu kupikirkan. Benar ia sudah mulai berubah.

Sesaat sampai di depan rumah Ochi, Sofyan ikut turun melepaskan helm seperti ingin memasuki rumah Ochi.

" Mau ngapain Yan ? Udah malem. Nanti kena marah Om Lukman, "

" Gue mau temui Om Rahman, gue mau minta maaf gak bisa bawa pulang putri pertamanya tepat waktu, " tanpa menggubris Ochi, Sofyan seenak jidat berjalan lalu mengetok pintu rumah Ochi.


Ochi yang melihat dari jarak agak belakang was - was, mengenai tindakan Sofyan. Ia yakin kini omelannya akan berlipat ganda.

Ochi melihat ke sekeliling rumah, malam ini kenapa rasanya berwarna merah padam ?

Untuk ketiga kalinya Ochi meneguk salivanya.


Pintu terbuka, Rahman menyembul keluar di dapati ada seorang tamu yang tak diundang.

" Assalamualaikum Om, " Sofyan menyalami tangan kokoh Rahman sopan.

Mata Rahman melihat di belakang agak jauh bingung , Ochi berdiri bak patung . Menahan emosi yang akan ia keluarkan untuk Sofyan tapi rasanya mudah. Tak seperti sebelumnya, ia bisa cepat mengontrol emosi jika di hadapkan dengan Sofyan. Dikit-dikit Sofyan membuat hatinya luluh semenjak lelaki itu berjanji untuk berubah.

" Walaikumsalam, " wajah Rahman sedikit merah padam tak bisa di artikan. Membuat Sofyan sedikit gugup, untuk pertama kalinya ia harus bertanggung jawab soal perempuan. Apalagi berhadapan langsung dengan seorang ayah.

" Saya minta maaf Om, gara - gara saya ngajak Ochi makan , Ochi jadi pulang telat. "


Ochi mendekat, menyalami Rahman mencoba merubah suasana dingin seperti malam ini.

" Jadi sebenarnya habis lomba, Ochi ke Pak Badrul dan makan dulu sih Yah. " ucap Ochi memandang ayahnya yang masih fokus pada Sofyan.

" Ochi ke Pak Badrul izin, tapi makan gak izin ? " balas Rahman.

Ochi meneguk salivanya untuk keempat kalinya .

" Saya yang salah Om, Ochi tadi sudah bilang untuk makan di rumah saja tapi saya kekeh makan di pinggir jalan soalnya perut lapar tak baik untuk perjalanan, "

Rahman mengamati mata Sofyan baik - baik, " Ochi masuk ke dalam ! "

Bak seperti akan ada petir menyambar Sofyan kali ini. Wajah Rahman sangat serius tak ada singgungan lengkung sabit di sudut bibirnya atau raut wajah lainnya. Selain, merah padam.

Ochi yang penasaran dengan suasana selanjutnya di luar mencoba menguping dari balik pintu .

" Ochi cepat ganti baju dan belajar ! " Ochi terenyak, ayahnya tau saja jika ia tak benar - benar pergi.


Selesai Ochi menutup pintu kamar , terdengar suara motor Sofyan maksudnya pinjaman dari Mang Udin menjauh pergi.

Segera ia ganti baju dan turun ke bawah menemui ayahnya.

" Yah, Ayah gak apa - apain dia kan ? " selidik Ochi pada Ayahnya yang kini mengganti channel TV dengan remot.

" Siapa anak itu ? Anak mana ? Ayah ingin kenal lebih jauh jika dia emang mau berteman dengan Ochi. "

Ochi mulai sadar jika ayahnya ini lupa mengenai Sofyan. Rahman bahkan pernah bertemu Sofyan di kantornya dulu.

" Anak blok C sebelah Yah , teman sekolah Ochi, " Ochi duduk di sofa mendekat ke telinga Ayahnya. " dia satu kerja jadi pelatih karate di tempat Ochi. " ucapnya berbisik, ia takut bundanya dengar.

" Ayah gak suka sama anak itu. "

" Ochi gak suruh ayah suka kok, lagi pula kita cuma teman. "

Merah padam bisa saja berubah ke kuning lalu ke hijau. Mungkin kali ini mereka masih berhenti sejenak, menunggu warna kuning menyala lalu hijau menerpa baru perjalanan kembali dimulai .


Hello readers, semoga suka. Jangan lupa tinggalkan jejak dan sarannya ya :)


PRO_MISE [ TELAH TERBIT !]Kde žijí příběhy. Začni objevovat