Pantas Juga

29 8 0
                                    

Lambat laun pergerakan kita secara bayangan akan lama - lama terlihat walau kita hanya bayang  , -T-
...

Menjadi bagian dari pelaku kriminalitas bukan cita - cita sejak awal.
Mereka tahu betul bernapas adalah hal yang gratis tapi untuk makan, minum, beli baju, gadjet, uang jajan, ke kafe, ke tempat gym, liburan, bedak , sabun, pulsa untuk paket internet dan lain - lain yang tak bisa disebutkan satu per satu. Dengan masa periode anak muda membuat segalanya harus terpenuhi, sikap manja dari awal membuat mereka keterusan.

Siapa yang tak mau hidup enak, hampir semua orang mau itu. Tapi jika ditilik masa sekarang itu harus serba instan, orang - orang menyebut anak generasi micin.

Dan semua kebutuhan itu harus di beli dengan uang . Mereka memang tergolong anak orang kaya, ayahnya pemilik yayasan SMA merah putih dan memiliki banyak perusahaan yang bergerak di bidang konveksi.

Dari mereka lahir saja sudah hidup makmur dan sejahtera. Tak ada yang boleh melukai sedikit pun, pernah pula salah satu asisten rumah tangga membuat mereka menangis gegara telat mengambilkan mainan, langsung di pecat. Sampai segitunya.

Namun semua kemewahan itu lenyap sesaat setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dengan seorang janda yang cukup glamor.

Dua hari setelah pernikahan mereka berjalan adem ayem saja, menerima anak tiri dengan sangat baik di depan sang suami. Namun ini juga bukan sinetron yang memang kebanyakan ibu tiri rela menerima dengan baik anak tiri. Itu cuma hoax, adapun ada itu memang sebuah keberuntungan. Bak seperti dunia bawang merah bawang putih. Mereka berdua tidak di siksa seperti halnya di sinetron tapi mereka sangat dibatasi dalam hal keuangan. Keuangan yang kini berpindah secara penuh di tangan ibu tiri membuat Janeta dan Thariq harus berpikir berkali - kali lipat.
Uang jajan satu hari saja hanya sepuluh ribu. Dan itu tak cukup bagi mereka berdua.

Pada suatu hari Janeta dan Thariq melihat ibu tirinya kedatangan tamu berjas hitam dan memakai topi hitam pula. Eits, kulitnya juga sedikit hitam sih.
Berbincang sejenak dan kemudian pergi.

Malam yang sedikit mencekam saat itu, Janeta berada di kamar Thariq berunding.

" Menurut lo , kita perlu curiga gak soal laki - laki tadi ?"

" Gak usah lah kak ,  kayak gak tau Tante Iren aja kalo kita ngadu uang jajan kita langsung cabut kembali ke dompetnya , "

" Ya terus gimana , masa kita gini - gini aja gak berani sama sekali sama tuh nenek lampir ?!"

" Gue ada ide sih , buat ngeracuni Tante Iren tapi kayaknya susah deh ," ujar Thariq menyengir tanpa dosa.
Janeta hanya memutar kedua bola mata malas.

Brukk!

Thariq dan Janeta terkesiap menoleh ke arah pintu yang dibuka secara paksa. Jangan sampai sang ibu tiri mendengar rencananya , pikir was - was mereka berdua.

Keduanya bermuka tegang kini.
Iren berjalan mendekat kedua anak tiri tercinta penuh tatapan tajam diselingi  senyuman licik dan tangan kanannya menenteng koper mini wadah make up berwarna keemasan.

Thariq dan Janeta menunduk dan mengepalkan tangan. Mereka memang kesal namun juga ada rasa takut yang menyelimuti.

Iren melempar koper tersebut agak kasar ke arah Janeta dan Thariq , keduanya spontan mendongak. Thariq hendak bangkit namun ditahan Janeta berusaha mengontrol emosi adiknya.

" Mama minta kalian jajakan barang tersebut ke sekolah kalian ! " Janeta dan Thariq membuka dan bingung dengan isinya." jika laku semua , uang jajan kalian dan segala sarana transportasi bebas kalian ambil . " lanjut Iren.

PRO_MISE [ TELAH TERBIT !]Where stories live. Discover now