II. Negara-Bangsa: Dasar

103 0 0
                                    

Dengan melakukan proses sedentarisasi rakyat[1], mereka mulai membentuk gagasan tentang area tempat mereka tinggal, luas dan batas-batasnya, yang sebagian besar ditentukan oleh alam dan lanskap. Klan dan suku yang telah menetap di daerah tertentu dan tinggal di sana untuk jangka waktu yang lama mengembangkan gagasan tentang identitas dan tanah air yang sama. Batas-batas antara apa yang suku-suku lihat sebagai tanah air mereka belum berbatasan. Perdagangan, budaya atau bahasa tidak dibatasi oleh tembok pembatas. Batas wilayah tetap fleksibel untuk waktu yang lama. Struktur feodal berlaku hampir di mana-mana, dan kemudian dinasti monarki atau kerajaan multietnis besar bangkit dengan tembok pembatas yang terus berubah, lalu banyak ditemukan bahasa dan komunitas agama yang berbeda, seperti Kekaisaran Romawi, Kekaisaran Austro-Hongaria, Kekaisaran Ottoman atau Kerajaan Inggris. Mereka bertahan untuk jangka waktu yang lama dan mengalami banyak perubahan politik karena dasar feodal mereka memungkinkan mereka untuk mendistribusikan kekuasaan secara fleksibel pada berbagai pusat kekuasaan sekunder yang lebih kecil.

1. Negara-Bangsa dan Kekuasaan

Dengan kemunculan negara-bangsa, perdagangan dan keuangan didorong untuk partisipasi politik dan kemudian memberikan kekuatan mereka ke struktur negara tradisional. Perkembangan negara-bangsa pada awal Revolusi Industri lebih dari 200 tahun yang lalu berjalan seiring dengan akumulasi modal yang tidak diatur di satu sisi dan eksploitasi yang tak terhalang terhadap populasi yang tumbuh cepat di sisi lain. Borjuasi baru yang bangkit dari revolusi ini ingin mengambil bagian dalam keputusan politik dan struktur negara. Kapitalisme, sistem ekonomi baru mereka, dengan demikian menjadi komponen yang melekat dari negara-bangsa yang baru. Negara-bangsa membutuhkan kaum borjuis dan kekuatan modal untuk menggantikan tatanan feodal lama dan ideologinya, yang bertumpu pada struktur suku dan hak-hak warisan, dengan ideologi nasional baru yang menyatukan semua suku dan klan di bawah atap negara. Dengan cara ini, kapitalisme dan negara-bangsa menjadi begitu erat terkait satu sama lain sehingga tidak ada yang bisa dibayangkan salah satu eksis tanpa esksistensi yang lain. Sebagai akibatnya, eksploitasi tidak hanya disetujui oleh negara bahkan didorong dan difasilitasi.

Tetapi di atas semua itu negara-bangsa harus dianggap sebagai bentuk kekuasaan maksimum. Tidak ada tipe negara lainnya yang memiliki kapasitas kekuasaan seperti itu. Salah satu alasan utama untuk ini adalah bahwa bagian atas dari kelas menengah telah dikaitkan dengan proses monopolisasi dengan cara yang terus meningkat. Negara-bangsa itu sendiri adalah monopoli yang paling maju dan lengkap. Negara-bangsa adalah kesatuan monopoli paling maju seperti perdagangan, industri, keuangan, dan kekuasaan. Kita juga harus menganggap monopoli ideologis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari monopoli kekuasaan.

2. Negara dan Akar Religiusnya

Akar agama negara telah dibahas secara rinci. Banyak konsep politik kontemporer berawal dari konsep atau struktur keagamaan atau teologis. Bahkan, pandangan yang lebih dekat mengungkapkan bahwa agama dan imajinasi ilahi membawa identitas sosial pertama dalam sejarah. Mereka membentuk perekat ideologis dari banyak suku dan komunitas pra-negara lainnya dan mendefinisikan keberadaan mereka sebagai komunitas.

Kemudian, setelah struktur negara telah berkembang, hubungan tradisional antara negara, kekuasaan dan masyarakat mulai melemah. Gagasan dan praktik suci dan ilahi yang telah hadir ketika komunitas mulai semakin kehilangan maknanya dalam kaitannya dengan identitas bersama dan, alih-alih, dipindahkan ke struktur kekuasaan para raja atau diktator. Negara dan kuasanya berasal dari kehendak Ilahi dan hukum; lalu penguasanya menjadi raja oleh kasih karunia Allah. Mereka mewakili kekuatan Ilahi di bumi.

Saat ini, sebagian besar negara modern menyebut diri mereka sekuler, mengklaim bahwa ikatan lama antara agama dan negara telah terputus dan bahwa agama tidak lagi menjadi bagian dari negara. Ini bisa dibilang benar, juga bisa dibilang tidak. Sekalipun lembaga keagamaan atau kependetaan tidak lagi berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik dan sosial, mereka masih mempengaruhi keputusan-keputusan ini sampai batas tertentu, sama seperti mereka dipengaruhi oleh ide-ide dan perkembangan politik/sosial. Karena itu, sekularisme (atau laisisme seperti yang disebut di Turki) masih mengandung unsur agama. Pemisahan negara dan agama adalah hasil dari keputusan politik. Pemisahan itu tidak datang secara alami. Inilah sebabnya mengapa bahkan hari ini kekuasaan dan negara tampaknya diberikan, bahkan kami bisa katakan pemberian Tuhan. Pengertian seperti negara sekuler atau kekuatan sekuler tetap ambigu.

Konfederalisme Demokratis - Abdullah OcalanWhere stories live. Discover now