C H A P T E R 11

345 55 2
                                    

Mungkin seandainya Evans masih berada di dunia kehidupan ini bersamaku--saat ini dia pasti akan bersembunyi di dekatku dan muncul di saat-saat aku membutuhkannya. Evans seringkali membantuku meskipun dia sedikit cerewet dan suka sekali mengejek. Terkadang juga dia menertawakan kebodohanku yang pada dasarnya adalah sebuah kebenaran.

Aku menghela napas panjang seraya menyematkan rapier ke sarungnya yang sudah berada di pinggangku. Kenangan indah yang pernah kulewati bersama sosok yang notabene sudah mati itu benar-benar sulit untuk dilupakan. Aku juga sebenarnya tidak ingin melupakannya. Aku ingin menjadikan itu semua sebagai perjalanan hidupku yang paling berharga.

Aku melihat jam dinding yang terpajang jelas di hadapanku. Masih ada waktu lima belas menit sebelum pukul sebelas malam. Aku berjalan ke arah nakas yang berada di samping tempat tidur, lalu mengambil tiga kantung kecil berisi bubuk besi dan garam yang sudah aku susun disana. Aku memasukannya ke dalam saku mantel, kemudian melangkah menuju pintu kamar ini sembari memasang sarung tangan kulit. Malam ini seperti biasa aku memakai busana serba hitam lengkap dengan rok sebatas paha dengan lapisan celana ketat. Ini kombinasi yang pas dan anehnya tidak berubah meskipun saat ini umurku semakin tua.

Perlahan tapi pasti aku menarik gerendel pintu kamar tidur ini, lalu beralih ke knop pintu dan menariknya perlahan-lahan. Aku menyembulkan kepalaku terlebih dahulu untuk keluar dan sangat mengejutkan. Luar biasa mengejutkan dan nyaris membuatku berdecak kagum. Suasana begitu sunyi, namun telingaku menangkap beberapa suara bisikan. Oh, astaga, ini bahkan belum pukul dua belas malam ataupun sebelas malam, tetapi tekanan di luar kamar tidur ini benar-benar luar biasa.

Aku kembali menutup pintu, lalu mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan lewat mulut. Mungkin aku harus menunggu kedatangan Leo, karena kalau tidak, bisa-bisa dia berdiri di depan kamar tidurku--menungguku keluar padahal aku sudah berjelajah ke bagian rumah yang lain.

Namun, ketika aku hendak menarik kembali gerendel pintu, tiba-tiba sesuatu seperti suara batu kerikil mengenai pintu kamar tidurku bagian luar. Aku bisa mendengar suara batu itu terkena bagian luar pintu kamar ini. Aku membeku sejenak di tempat dengan posisi bibir yang sedikit terbuka, karena terkejut.

Tetapi, suara kerikil itu tidak meluluhlantahkan semangatku untuk kembali membuka pintu perlahan-lahan. Suaranya menyerupai ketukan sebanyak satu kali. Hal pertama yang aku cari ketika pintu kamar tidurku benar-benar terbuka adalah benda yang menjadi dugaanku. Yaitu, batu kerikil atau sejenisnya. Tetapi, tidak ada apa pun di lantai. Padahal lantai lorong depan kamar tidurku ini tidak terdapat karpet kedap suara.

Aku mengernyit kecil. Bisikan-bisikan itu terdengar sangat jauh. Begitu jauh dan teredam. Membuatku sulit untuk mendengar dengan jelas apa yang mereka ucapkan.

Aku berdiri tepat di ambang pintu. Menolehkan kepala ke kanan, kemudian ke kiri. Hening. Tidak ada suara langkah kaki ataupun detak jam. Gelap, tetapi tidak gulita. Ada seberkas cahaya yang tersedia dari lampu kekuningan yang terpasang di dinding dengan jarak berjauhan. Menambah kesan mengerikan di daerah ini.

Bagaimanapun juga prinsipku harus tetap berani. Karena, ketakutan sekecil apa pun itu bisa melumpuhkan kekuatan psikis dan membuatku gagal menguasai pikiranku sendiri. Terkadang ketakutan juga bisa membuat siapa saja dikendalikan oleh alam bawah sadar sehingga menjadi buta dalam segala arah--memudahkan para pengunjung menyerang dengan mudahnya.

Aku masih berdiri di ambang pintu sampai akhirnya pandangan ku menangkap sosok bayangan hitam yang mirip seperti Riley. Mungkin antara Riley atau Bingley. Aku melihatnya tepat jauh di sebelah kiri--tempat dimana belokan kamar Bingley berada dan disana merupakan daerah tergelap setelah dapur. Aku menyipitkan kedua mata untuk melihat dengan jelas. Wajahnya tidak terlihat jelas dan agak gelap, tetapi tangan kanannya menggenggam sebuah lentera.

Lou Length: The White WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang