C H A P T E R 28

275 54 5
                                    

Udara semakin terasa menusuk ke dalam pori-pori wajahku. Mantel kulit ini tak lagi berfungsi dengan baik saat aku mulai memasuki wilayah ladang jagung sebagai rute tepat menuju ke rumah lama Marianne Barlow semasa hidupnya. Entah ini karena cuaca yang ekstrem atau mungkin karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang dapat kusebut 'energi' luar biasa dan mampu membuat diriku nyaris membeku. Tak hanya aku. Kipps dan Ocean juga merasakannya.

"Apakah dingin seperti ini wajar?" Tanya Ocean seraya menahan bibirnya agar tidak bergetar. Yang terdengar hanya gigi yang bergemelatuk. "Karena menurutku ini sangat tidak biasa."

Kipps merapatkan mantelnya. Tangan kanannya senantiasa menggenggam kawat lentera. "Entahlah. Aku rasa ini tidak wajar," Kipps beralih melirik wajahku. "Tidakkah dingin ini mengingatkanmu akan sesuatu, Lou?" Kata Kipps pelan. Nyaris berbisik. Aku tahu raut wajah itu. Raut wajah yang serius dan sama persis seperti dulu sebelum kami berdua melewati masa-masa sulit melawan seseorang bernama Raphael.

Aku hanya diam. Mengalihkan pandangan lurus ke depan dan tidak ingin ambil pusing mengenai hal itu. Lagipula, peristiwa itu tak akan pernah luput dari ingatanku. Akan selalu melekat dan menciptakan sebuah trauma yang tak akan ada habisnya. Kenyataan dan sensasi mengerikan itu masih terasa, lalu Kipps mengingatkannya kembali. Detik itu juga aku menyadari kalau situasi saat ini nyaris persis seperti 'Dunia Pertengahan'.

"Tidakkah semakin dalam kita menembus ladang jagung ini, semakin banyak pula perubahan suhu yang ekstrem terasa?" Ocean lagi-lagi berucap.

Aku menghela napas. Menghembuskan napasku perlahan lewat mulut dan aku benar-benar terkejut, karena dari mulutku keluar uap asap menandakan kalau suhu benar-benar berubah. Aku menatap Kipps, kemudian berkata, "Kipps, dapatkah kau melihat pukul berapa sekarang?"

Kipps mengeluarkan jam saku peraknya. Jam saku kesayangannya (seperti itulah yang dia katakan).

"Tepat pukul dua malam." Kipps memasukkan kembali arlojinya, "ini sudah jauh sekali dari tengah malam. Kita harus sampai sebelum pagi."

Aku menganggukan kepala, lalu memperhatikan situasi sekeliling. Ladang jagung ini mulai terlihat berbeda ketika kami sudah memasukinya semakin jauh ke dalam. Yang berbeda adalah pada saat kami masuk, barisan tanaman jagung paling depan itu terlihat tumbuh dengan sangat baik serta subur. Daun jagungnya terlihat hijau, tetapi ketika kami sudah berada jauh menembus ladang, tanaman-tanaman jagung yang ada kini terlihat layu. Daunnya berwarna kecokelatan dan tak tumbuh tegak seperti yang ada di barisan depan tadi. Perbedaan yang sangat kentara, karena tanah yang saat ini kami pijak terasa sangat kering seperti sudah lama tertimpa cahaya matahari menyengat, padahal ini bukan musim panas.

Aku berhenti sejenak saat tak sengaja lengan atas sebelah kiriku menyapu salah satu daun layu yang dimiliki ladang ini. Aku terdiam, karena ada gelenyar aneh di dalam diriku.

Rasanya seperti...

...sepertinya aku akan tertarik ke dalam sebuah memori masa lalu yang asing.

Sangat asing.

Aku terpejam. Menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan untuk menetralkan pikiranku saat ini. Aku butuh konsentrasi penuh dan membiarkan memori masa lalu milik siapa pun itu mempersilahkan diriku untuk bergabung di dalamnya.

Dan detik selanjutnya aku merasakan suasana di sekitarku yang mendadak berubah drastis. Terasa dingin, tetapi basah. Ada rintik hujan yang mendadak mengguyur tubuhku dan ini terasa sangat-sangat nyata. Padahal aku tahu, saat ini aku sedang tidak berada di dunia nyata . Aku membuka kedua mataku perlahan-lahan dan benar saja. Aku berhasil memasuki memori masa lalu ini.

Sekarang aku sendirian.

Berdiri di tengah ladang jagung--tempat yang sama seperti sebelum memori masa lalu ini menarik diriku. Hanya saja, tanaman jagungnya masih terlihat normal dan subur. Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Menyapu setiap jengkal keadaan yang mengelilingiku. Sunyi. Hanya terdengar suara rintik hujan yang jatuh merosot di atas daun hingga akhirnya meresap ke dalam tanah.

Lou Length: The White WomanWhere stories live. Discover now