Bagian 4: The Sacrefice

69 10 1
                                    

Elliot Handorven melangkahkan kakinya memasuki pedesaan dengan wajah tertunduk. Kehadirannya tak luput dari tatapan benci seluruh desa, Elliot merasa di hakimi melalui tatapan mereka.

Kakinya berjalan terseok-seok, tenggorokannya kering, dan tubuhnya terasa sangat nyeri di setiap langkah. Empat belas hari yang lalu, ia di buang oleh warga desa beramai-ramai. Ia ingat sekali tubuhnya di tendang, di pukul, di lempari batu berkat mencuri sepotong roti.

Ia kembali, suatu masalah besar bagi penduduk desa Etelich. Elliot hanya tidak bisa bertahan hidup luar desa, terlalu banyak tanaman beracun dan hewan buas. Ia tidak cukup pintar untuk mencari penawar-penawar racun.

Hidup sebagai anak yatim piatu membuatnya benar-benar kesulitan. Tak ada satupun panti asuhan yang mau menerimanya, Elliot terlalu bodoh dan idiot untuk di tampung katanya. Mencuri merupakan jalan satu-satunya untuk bertahan hidup, tak ada warga desa yang mau memberikannya makanan jika meminta.

Elliot si anak riang, terus tertawa meskipun di hardik begitu kerasnya. Tak ada warga desa yang menyukainya, tapi Elliot menyukai warga desa. Si iris biru terang yang memancarkan kebahagiaan walau di benci sebegitu besarnya.

Ia di benci hanya karena ingin mendapat beberapa potong roti.

Elliot merapatkan tudungnya, berusaha menutupi kehadirannya. Anak itu diam-diam merasa terluka di tatap seperti seorang pembunuh. Ia belum siap tersenyum, belum siap untuk menjadi dirinya yang lain.

Anak itu menarik napas dalam sebelum tubuhnya terpental keras,"Apa yang kau lakukan disini, pencuri?"

Seseorang menarik tudungnya dan menariknya agar duduk. Manik merah kelamnya menatap tajam, berusaha memberikan ancaman."Kau tak boleh kembali kesini, Elliot!"

Elliot menunduk kemudian mengangkat wajahnya dengan senyum."Maaf, Tuan. Aku tak bisa bertahan hidup hutan sendirian. Aku janji tidak akan mencuri lagi, tapi tolong biarkan aku tinggal disini."

Pria itu memukul tubuh kurus Elliot dengab tongkat kayunya yang besar."Kau pikir aku akan terbuai, bocah? Tidak tetap tidak. Kami tidak menerima pencuri disini."

Anak itu mengaduh, hampir menangis karena tubuhnya terasa sangat sakit."Tuan, aku berani bersumpah. Aku benar-benar tak akan mencuri lagi," ia menarik napas dalam dan tersenyum."J-jika aku mencuri lagi, kau bisa membakarku hidup-hidup atau melemparku ke tengah sungai Savory, Tuan."

Pria itu menyeringai,"Sebagai kepala desa yang baik, aku membiarkanmu tinggal disini. Ingat, kata-katamu sudah kupegang kuat-kuat." ia memukulkan tongkat kayunya ke tubuh Elliot lagi sebelum pergi.

Elliot berdiri dengan susah payah. Ia harus bertahan hidup tanpa mencuri, hampir mustahil memang jika mengingat tak ada warga desa yang berbelas kasihan kepadanya, tapi ia harus bisa.

Desa Etelich tak berubah banyak sejak ia pergi, hanya saja kebun-kebun penduduk sudah mulai subur. Elliot mengansumsikan sebentar lagi musim panen tiba.

Sebuah ide muncul. Ia ingin menanam bibit-bibit sayuran di kebun kemudian hasilnya akan dia jual ke pasar besar, setidaknya dia dapat mendapat beberapa potong roti tanpa mencuri.

Ia ingat, ia tak punya lahan sama sekali di desa. Menanam sembarangan artinya mencuri lahan desa untuk kepentingan pribadi.

Elliot berjalan lesu. Ia sama sekali tak punya cara untuk mendapat kan koin dan bertahan hidup di desa. ia mengutuk dirinya sendiri karena telah bicara sembarangan kepada kepala desa.

Kepalanya pening. Perutnya benar-benar kosong dan ia tak bisa berpikir.

Atensinya beralih pada segerombolan anak laki-laki yang memperagakan perang dengan pedang kayu dan ketapel sebagai senjatanya. Harusnya saat ini Elliot tak perlu susah-susah berpikir tentang cara bertahan hidup, harusnya ia sedang bermain bersama anak-anak lainnya.

The Thymes Where stories live. Discover now