Bagian 7: The Opposite

55 8 5
                                    

"Hei, ayo bicara denganku."

Elena menatap Elliot dari ambang pintu. Samantha masih mengerahkan usahanya untuk mengajak Elliot berkomunikasi dengannya. Hasilnya nihil. Anak itu tak merespon siapapun. Diam dan kosong.

Elena mengehela napas lelah, memijat batang hidungnya frustasi."Elliot tidak apa-apa, kan?" Henry meremas ujung pakaiannya, khawatir. Elena mengangguk sebagai jawaban, membawa bocah itu kedalam pelukan.

Ia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. Semua ini terasa janggal, bahkan sejak terdamparnya ia di hutan antah berantah bersama tiga orang asing. Tak akan ada yang menyangka perjalanan mencari kayu bakar menjelma jadi tragedi yang ia sendiri tidak ingin ingat-ingat lagi.

Anak itu, Elliot, bergetar di bawah pohon rindang kala itu. Bola matanya memutih, tubuhnya memucat dan dingin. Elena kalut, merasa takut kehilangan. Tampaknya, Elliot tengah bergulat bersama sesuatu. Sesuatu yang tumbuh dan ingin menguasai dirinya. Anak itu berteriak pilu, menulikan telinga Elena. Yang ia dapat lakukan hanya merengkuhnya, tak tahu harus apa. Tak ada yang bisa ia lawan, terlalu abstrak dan halus.

"Ia akan baik-baik saja," pria paruh baya itu berjalan mendekatinya, menepuk halus pundaknya. Elena tak tahu harus berterimakasih sebesar apa kepadanya. "Kalian  harus pergi ke tempat yang lebih aman."

"Somberhone tahu yang terbaik, nak."

"Siapa?"

"Somberhone, si pengukuh para utusan dewa. Ia akan membantu kalian untuk melepas semua dan menemukan jati diri," jelas si pria paruh baya.

Elena masih berusaha mencerna. Ia sama sekali tidak mengerti korelasi antara Elliot, Samantha, Henry, dan dirinya sendiri dengan Somberhone. Mereka bukan utusan dewa, untuk apa Somberhone repot-repot membantunya. "Aku tidak—"

"Samantha?"

Elena menoleh dengan jantung yang berdegup kencang, suara itu terlalu familiar di telinganya. Elliot, anak itu akhirnya merespon dengan napas yang memburu. Elena mendekatinya cepat, menatap obsidian biru terang yang berbinar."K-kau—" lidahnya mendadak kelu, tak tahu ingin bereaksi seperti apa. Anak itu nyaris mati di tangannya.

Elena merengkuh Elliot kuat-kuat, mengusak rambutnya lega. Ada sebuah dorongan yang memicunya seperti ini, entah apa.

Rasanya ia terikat sesuatu. Sesuatu yang harusnya hilang sejak lama.

***

"Jadi burung yang baik, Seas. Sampaikan dan hantarkan surat beserta anak-anak dewa ini pada Somberhone. Mereka perlu di kukuhkan." Burung merpati—yang anehnya—berwarna kebiruan mematuk-matuk tangan si pak tua sebagai responnya. Pita abu-abu dipasangkan di kaki Seas dengan hati-hati. Si Pak tua membelai lembut dengan senyum samar nyaris tak terlihatnya. "Matanya setajam elang, tubuhnya sekokoh tiang, irisnya se abu-abu langit mendung."

Elena mengikat kayu-kayu besar sebagai perbekalan, sisanya ia serahkan kepada Samantha dan Elliot. Pak Tua melangkah tertatih dengan berlapis-lapis kain di kedua tangannya, ia tersenyum hangat sembari menyampirkan jubah hitam lusuh yang juga sudah robek di beberapa bagian pada tubuh tehap gadis itu. Ia melakukan hal yang sama pada Samantha, Elliot, dan Henry.

Dengan spontan, Elena membungkukan tubuh semampainya tajam. Menaruh beribu-ribu hormat pada si Pak Tua, "Aku tidak tahu harus membalasmu dengan apa, Pak. Semua yang kau lakukan sangat berarti dan kami berempat sangat berterimakasih. Aku berhutang budi padamu! Jika kita bertemu lagi suatu saat, aku akan membayarnya dengan apapun, bahkan dengan nyawaku. Sekali lagi, terimakasih!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Thymes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang