Part Sembilan - Mengukir Lara

536 77 19
                                    

Kedua
Bukan angka biasa
Sebuah asa yang terbungkus lara

-diari Biru-

*****

"Pengen?" Tanya Sheila pada Nina yang terus memperhatikan jam tangan yang dibeli Sheila.

Nina mengangguk bersemangat, sambil mengedip -ngedipkan matanya.

"Buruan minta Biru lamar, nanti mama beliin Nina kayak gini juga"

Senyum Nina berganti menjadi manyun. Mamanya memang begitu, suka membuat Nina kalah telak. Untung ngomongnya masih sama Nina aja, kalo pas ada Biru bisa gawat.

Duh Mama!

"Ni pa yang besok ngelamar Nisa" kata Nisa malu-malu pada Papanya, Anjasmara. Papa yang sudah tidak tinggal lagi bersama mereka sejak Nisa berusia 7 tahun.

Noval pun menyalimi Anjasmara dan duduk didekatnya, sedang Nisa duduk di sebelah kanan Papanya.

Nina duduk didepan Nisa bersebelahan dengan Sheila, Oma sendiri duduk diujung meja.

"Nah Nisa udah mau tunangan. Ninanya papa udah ada pacar belum?" Tanya Anjas menggoda bungsunya.

"Udah dong, bentar lagi juga dateng" bukan Nina yang menjawab, melainkan Sheila, yang langsung membuat Nina mengerutkan dahinya.

"Widih mama malah lebih tau" komen Nisa.

"Bener dong. Mama kan nitipin anak kemereka, mama harus lebih akrab dong" Sheila membela diri. "Noval ga boleh block WA mama ya" lanjut Sheila menggoda Noval yang seyam senyum dari tadi.

"Siap Te" jawab Noval sigap. Nisa dan Nina cuma bisa saling berpandangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sangat tahu bagaimana sikap mamanya yang bisa sangat diluar perkiraan.

"Biruuu, sini nak" Sheila setengah berteriak begitu melihat Biru yang memasuki pintu restoran.

Nina kaget, tapi tidak heran dengan tingkah dan usaha Mamanya.

Biru menyalami semuanya termasuk Anjas, yang ketika itu langsung membuat semuanya menengok pada keduanya.

"Biru Om" sapa Biru.

"Biru?" Jawab Anjas dengan tatapan tajam.

"Semesta Biru om, biasa dipanggil Biru, pacarnya Nina" jawab Biru mantap.

"Hoo.. ini yang berani pacarin anak bungsu om, trus kapan dilamar anak bungsu om ini?" Tanya Anjas dengan muka seriusnya.

Biru terkejut, mukanya memerah dan dia sekejap menatap Nina yang malah tampak tertawa melihat tingkah papanya dan reaksi Biru.

"Segera om" jawan Biru grogi.

"Kapan? Segera itu ambigu" lanjut Anjas.

"Hmm.. begitu Biru lulus om" Biru menunduk dan menggaruk punggung kepalanya, jawaban tadi sebenarnya adalah jawaban dari impiannya. Jika saja bisa, dan ini nyata, tentu saja dia ingin segera memiliki Nina pujaannya.

Selaksa RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang