Dua Puluh

116K 11.6K 867
                                    

"Kamu dipingit Di? Tapi kok enak banget ya keliatannya." Nela memandang iri melihat Diandra yang dilayani oleh empat wanita terapis sekaligus. Sahabatnya itu sedang menikmati nikmatnya sensasi memanjakan diri dengan dipijat, dilulur, medicure, pedicure, dan totok wajah.

Diandra membuka satu matanya untuk sekedar mengintip ketika Nela datang berkunjung hari ini. Di dalam kamar, Diandra telah mendapatkan servis yang membuat seluruh tubuhnya cantik. Jika boleh jujur, sebenarnya Diandra sudah bosan dipoles sana-sini. Padahal acara akad nikahnya juga masih lama—tujuh hari lagi alias seminggu! Tapi seluruh keluarga besarnya sudah mulai datang ke rumah satu per satu untuk membantu persiapan pesta.

Bahkan untuk menjadi pengantin yang sempurna di atas panggung nanti, Diandra harus menuruti seluruh mitos dari nenek moyang terdahulu.

"Kata nenek, calon pengantin harus dipingit dan gak boleh bertemu sampai hari H, kalo dilanggar pernikahannya akan terancam."

"Jangan lupa betangas, biar nanti gak bau badan."

"Luluran pake lulur warna kuning, jadi bersinar kulitnya nanti."

Diandra sudah capek mendengar berbagai opini dari tante, bibi, dan neneknya.

"Kamu mau? Nanti aku bisa pesenin lagi mbak terapisnya," saran Diandra sambil terkekeh. Kedatangan Nela membawa angin segar untuknya. Setidaknya dia tidak lagi kesepian ditengah hiruk-pikuk perkawinan ini.

"Gak ah," tolak Nela tegas, "aku aja udah sesak liat kamar kamu penuh banget kayak gini." Ia pun mendekat ke arah ranjang, dan melihat kuku-kuku Diandra sedang dipasang kuku palsu yang panjangnya mantap untuk mencakar wajah pelakor. "Kamu kok milih ujungnya lancip sih? Petak aja lebih cantik."

"Aku sengaja sih, biar kalo garuk punggung lebih enak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku sengaja sih, biar kalo garuk punggung lebih enak." Diandra terbahak, membuat satu terapis yang sedang memijit wajahnya sedikit terganggu.

Nela bingung mau duduk di mana, karena seperti katanya tadi, kamar Diandra sudah sesak karena penuh banyak barang. Ada beberapa hadiah yang belum dibuka, apalagi ditambah empat orang terapis yang sibuk mengerjakan tugasnya masing-masing tanpa berbicara. Mereka seperti robot saja.

"Kemana Om Guntur? Dia gak mungkin dipingit juga." Akhirnya Nela duduk dikursi belajar Diandra yang berada dekat toilet. Walaupun ngobrolnya jadi agak jauh, tapi lumayanlah.

Diandra berdeham sebagai jawaban, memberi kode untuk orang yang merawat wajahnya untuk berhenti sejenak. "Gak lah, dia mah masih gila kerja dikantor. Kami juga gak boleh ketemu sampai akad nanti. Huhu."

Nela terkikik jahil melihat ekspresi Diandra yang menderita. Sepertinya, hubungan Guntur dan sahabatnya ini sudah membaik. Bahkan mungkin lebih melihat raut kangen yang Diandra pasang diwajahnya secara terang-terangan. Apakah ini efek karena mereka telah jujur satu sama lain? Baguslah kalau begitu.

Ya, Diandra sudah cerita semuanya pada Nela. Jangan heran karena Nela adalah human diary bagi Diandra.

"Kamu gak takut Om Guntur dideketin sama Mak Lampir? Apalagi kalian dilarang buat ketemu, pasti dia lebih gercep deh, aku yakin." Nela menatap ponsel Diandra yang terletak di atas meja. Jika dilihat dari puluhan notif di layar, tampaknya ponsel itu terabaikan sejak tadi.

Jodohku Om-Om!! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang