BAB 1

9 4 2
                                    

"tiinnn...tiiinnn." Suara klakson mobil yang sudah tidak asing lagi bagiku. Aku melihat jam di tanganku dan mulai menghabiskan sisa nasi goreng yang sudah tepat berada di depan mulutku. Segera bergegas dan menyalimi satu per satu orang yang ada di rumahku.

"Baru jam segini, udah dateng aja lu."

"Ini kan hari pertama anak baru masuk sekolah."

"Terus?" menoleh dengan memasang mukan heran.

"Pasti banyak anak baru yang cakep-cakep bro," ucapnya sambil menyenggolku dengan sikutnya. "Daging seger bro."

"Udah gila lo ya?!"

Baru berjalan lima menit, kami sudah sampai di sekolah kami tercinta. SMA TUNAS BANGSA. Maklum, jarak dari rumahku ke sekolah kira-kira tidak ada satu kilometer. Bahkan kadang-kadang bel sekolah terdengar sampai ke rumah, ehehe.

Aku masih bingung kenapa sekolahku ini dinamai Tunas Bangsa. Kenapa gak tunas kelapa aja ya? Biar kaya anak pramuka. Tapi, bodo amatlah, yang penting bisa sekolah. Kalo mau tau, sekolah ini adalah salah satu dari segelintir sekolah elit di Jakarta. Hanya orang-orang kelas kakap yang bisa sekolah di sini. Cewek-ceweknya? Behhh...bening-bening banget kek susu. Jadi pengen.

"Tuh kan Fas, banyak anak baru tuh. Masih pada pake baju smp lagi hahah."

Sahabatku ini memang rada-rada gitu. Namanya Satria, Satria Wicaksono. Namanya kampungan banget ya. Tapi jangan salah, keluarganya adalah orang yang paling kaya. Ya walaupun hanya di kompleknya saja, tapi yang penting kaya lah pokoknya. Aku bisa masuk sekolah ini juga karena bantuan dari keluarganya yang sudah saling mengenal dengan keluargaku sejak dulu. Mungkin sejak embrio.

"Udah ah ayo ke kelas. Ntar batal puasanya."

"Emang sekarang bulan puasa?" tanyanya sambil berpikir.

"Ya kaga lah bego!"

Kami berdua tertawa sepanjang lorong menuju kelas. Lagi dan lagi, Satria selalu tebar pesona saat melewati beberapa cewek cantik yang dilewatinya. Untung aja wajahnya lumayan ganteng—tapi gua gak gay ya—jadi gak terlalu malu-maluin saat tebar-tebar pesona. Yang naksir sama dia juga banyak, selalu saja ada makanan atau enggak bunga di bawah mejanya, kira-kira ada berapa banyak makanan ya yang ada hari ini. Tapi gak tau kenapa, sampai saat ini dia belum punya pacar.

"Ayo kita buka doorprize dulu," ucapnya yang langsung berlari melongok ke laci mejanya. "Surprise! Wah banyak juga ya hadiahnya, rezeki anak sholeh."

"Emang nama bapak lu sholeh? Bukannya Faisal Wicaksono?"

"Diem lu, gak usah banyak bacot. Mau gak nih?" Dia mengulurkan sebuah coklat ke arahku.

"Lah kuy. Alhamdulillah dikasih makanan sama anak sholeh."

Saat ingin membuka coklat tersebut. Aku melihat Karin sedang duduk sendiri di barisan paling depan. Ia terlihat sedang asyik memainkan telepon genggamnya sedari tadi. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghampirnya. Satria terlihat heran kenapa aku pergi dari tempat dudukku, dan lama kelamaan akhirnya ia mulai mengerti apa tujuanku dan Satria kembali lagi fokus ke makanannya.

"Hai Karin! Lagi ngapain?"

"Eh Fasya, lagi main hp doang. Kenapa?"

"Cantik," ucapku berbisik dengan sendirnya.

"Apa katamu, Fas?

"Hmm enggak kok. Nih kamu mau coklat gak?"

"Ini dari kamu, Fas?"

"Iya dong, ini spesial dari aku. Diambil ya." Aku melihat Fasya dan aku memberinya kode kepadanya dengan menaikkan salah satu alisku tanda kalau aku berhasil.

"Makasih ya, Fas."

Aku tidak tahu bagaimana sebenarnya hubunganku dengan Karin. Dibilang teman, bukan. Dibilang pacar, juga bukan. Intinya kami saling berkomitmen untuk jaga perasaan masing-masing. Walaupun ia beberapa kali memberi kode agar aku segera meresmikannya sebagai pacarku, tapi aku gak bisa. Banyak alasannya, intinya aku tidak ingin berpacaran dahulu saat ini tapi aku tetap mencintainya, sangat.

***

"Eh Bang Sat! Apa kabar?"

Satria melirik ke arah laki-laki yang menyapanya. "Gak usah pake 'Bang' woy! Gak enak di dengernya."

"Heheh sori sori. Berduaan mulu lu, kayak biji."

"Iya, lu burungnya," jawabku ketus.

"Ngapain lu Bert ke sini?" tambah Satria.

"Mau minta makan dong! Ngapain lagi?"

Gilbert adalah salah satu sahabat aku dan Satria. Jadi, aku tidak hanya berdua. Sebenarnya aku memiliki geng yang berisi empat orang gak jelas, selain aku dan Satria, ada juga Gilbert dan Kevin. Mereka berdua sekelas, tapi berbeda dengan kelasku dan Satria. "Sendirian aja lu, Bert? Biji lu satu lagi mana?"

"Dihh, kok lu tau biji gua ilang satu? Jangan-jangan...," ledek Gilbert.

"Si Kevin, bodoh! Kemana dia?"

"Biasa, dia mah bocah ngambis."

"Lu gak ikutan ngambis?"

"Alah ogah. Liat rumus aja gua jadi buta huruf."

"Geblek lo! Yaudah pesen, gua yang bayarin," suruh Satria.


HAPPY READING!

Jangan lupa vote & comment yaa

Ditunggu next partnya ya guys:)

I WISH I HADWhere stories live. Discover now