BAB 2

5 0 0
                                    

"Hai, Fasya!"

Aku menoleh. "Eh, Karin. Sini duduk."

"Satria mana? Tumben sendirian."

"Dia lagi di kelas. Di ajak ke sini tadi gak mau."

Keadaan kantin masih sangat sepi. Wajarlah saat ini memang belum masuk jam istirahat. Mumpung guru mata pelajaranku sedang berhalangan hadir, aku lebih memilih menyendiri di kantin sambil menyeruput minuman yang sudah hampir habis.

"Kamu ngapain ke sini, Rin?"

"Lah kamu aja ngapain di sini? Kan ini belum istirahat."

"Lagi pengen di sini aja."

"Yaudah, aku temenin ya?" ucapnya dengan senyuman yang melingkar di pipinya.

Selain cantik, Karin juga orang yang sangat baik dan pintar. Tak heran kalau banyak laki-laki yang selalu mendambakan Karin sebagai pacarnya. Tapi yang membuatku heran, kenapa ia memilihku? Aku bahkan tidak punya apa-apa. Ganteng? Tidak. Kaya? Apalagi. Pinter? Sedang-sedang aja. Sebenernya apa yang membuat Karin mencintaiku ya?

"Eh, Fas. Kenapa sih kamu gak mau pacaran?"

"Aku lagi gak mau aja."

Muka Karin mulai serius. "Iya aku tau, tapi kenapa? Kamu trauma?"

"Bukan itu," ucapku perlahan. "Aku gak bisa ngasih tau kamu sekarang."

"Selalu itu alesannya." Muka Karin mulai cemberut. Aku paham, ia tidak ingin selalu digantung atau punya hubungan tanpa status atau apapun itu. Ia hanya ingin aku menjadikannya seorang pacar, itu saja. Tapi hanya saja aku tidak bisa. Aku tidak punya apa-apa, tidak seperti cowok-cowok lain yang mengejar Karin, mereka semua memiliki hidup yang sangat berkecukupan. Jika aku menjadikannya ia pacar, aku harus selalu mengantar dan menjemputnya pulang, membayarkannya ketika makan atau menonton bioskop, dan hal yang lainnya yang tidak bisa aku lakukan karena keterbatasanku. Tapi maaf, aku belum bisa cerita itu semua kepadamu, Rin.

"Maaf ya, tapi serius deh kita lebih baik seperti ini aja dulu," ucapku menenangkannya.

"Iya iya aku ngerti." Karin tersenyum. "Aku tetep sayang sama kamu kok."

"Makasih ya," balasku dengan senyuman.

Aku kembali meyeruput habis minuman yang ada di tanganku. Karin hanya melihat sekitaran kantin yang nampak sepi dan hanya ada beberapa pedagang yang sedang menyiapkan dagangannya untuk istirahat nanti. Setelah aku pikir keadaan di sana sudah mulai canggung satu sama lain, aku mengajak Karin untuk ke kelas. Lagipula lima belas menit lagi sudah ganti jamnya Bu Maya, satu-satunya guru yang dikenal karena kegalakannya, daripada kita berdua dimakan olehnya.

Ah sial! Kami berdua berpapasan dengan guru yang tadi aku bilang.

"Dari mana kalian?"

"Dari kamar mandi, Bu." Aduh kayaknya salah jawab nih.

"Apa?! Kok ke kamar mandi berdua? Cewe sama cowo lagi!"

Karin meliriku dengan sebal karena alasanku tadi yang sama saja bunuh diri.

"Gini Bu, tadi saya duluan ke kamar mandi perempuan. Ya namanya cewe, suka lama. Terus si Fasya dateng juga, tapi dia ke kamar mandi cowok. Terus pas keluar, kami papasan di jalan. Gak salah kan, Bu?"

Aneh, Bu Maya langsung paham dari penjelasan Karin barusan. Padahal menurutku penjelasan itu gak masuk akal. Jarak dari kamar mandi cewe dan cowo aja sangat jauh, mungkin Bu Maya lupa kali ya letak kamar mandi siswanya. Biarin aja ah. Benar ya kata orang, salah satu cara menaklukan guru yang galak yaitu dengan murid yang cerdas. Untung saja, kami berdua tidak dijadikan santapan siang olehnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 30, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

I WISH I HADWhere stories live. Discover now