08 - Rumah Sakit

32 6 0
                                    

Warna putih mendominasi suasana tempat itu. Sebuah gedung yang dipenuhi oleh orang-orang dengan selang infus ditangan mereka. Beberapa memakai kursi roda, beberapa lagi dibawa dengan sebuah ranjang beroda dibawahnya.

Sebuah aktivitas kehidupan berjalan tanpa rasa bahagia disini. Lebih tepatnya, semua orang terlihat sangat lelah. Ya, yang mengurus lelah bekerja sepanjang hari meski dengan shift yang berganti. Sementara yang diurus lelah dengan perawatan yang tak kunjung usai, dan obat-obatan yang mesti dikonsumsi terus menerus.

Kini, Billy sedang berdiri di salah satu ruang tunggu di gedung itu. Berulang kali ia mondar-mandir berjalan ke arah yang sama, lalu kembali ke arah yang sama lagi juga. Kursi disampingnya pun tak bisa menggodanya untuk duduk ssejenak kemudian berpikir lebih jernih.

Bagaimana tidak, sudah hampir satu setengah jam dia berdiri disana, dan belum ada kejelasan apa-apa dari pihak rumah sakit. Entah, mungkin mereka sedang menunggu pihak lain yang lebih berhak diberi tahu tentang kondisi Reina.

Resah. Satu kata itu yang mewakili perasaan Billy saat ini. Betapa kagetnya dia dengan ketidaksadaran Reina yang terjadi tiba-tiba. Terlebih, setelah sepuluh menit mencoba dibangunkan, gadis itu masih tidak siuman dari pingsannya.

"Apa semua ini gara-gara aku?"

Berkali-kali Billy menyalahkan dirinya sendiri. Mungkin ia terlalu memaksa untuk biacara, terlalu banyak mengganggu Reina, dan terlalu berambisi untuk masuk ke dalam hidupnya. Tapi segera ditepisnya semua pemikiran itu, dengan asumsi bahwa gadis ini mungkin memang tidak dalam kondisi kesehatan yang baik.

Untungnya, Reina segera dibawa ke rumah sakit yang tak jauh dari lokasi percakapan mereka dua jam yang lalu. Dan ternyata, gadis itu adalah salah satu pasien disini, yang memang seringkali kabur dari perawatan tanpa sepengetahuan suster yang ditugaskan di ruang kamarnya. Selain tidak sopan, ternyata gadis ini juga suka melanggar peraturan.

"Kamu teman Reina?"

Seorang pria berusia sekitar lima puluhan tiba-tiba mendekat dan bertanya pada Billy yang tengah menunggu di depan kamar Reina. Disampingnya, wanita yang jauh lebih muda terlihat mengekor dengan seorang gadis kecil digandengannya.

Mereka terburu-buru menuju kamar Reina. Sepertinya, mereka berdua adalah orang tua dari gadis aneh itu.

"Iya, pak. Saya temannya."

Billy tak tahu lagi harus mengatakan apa. Terpaksa, kebohongan sebagai teman Reina harus ia katakan. Ya walau sebenarnya mereka baru bertemu dua kali.

"Apa yang terjadi?"

Wanita disebelahnya lanjut bertanya.

"Kami baru saja bicara selama lima belas menit. Lalu Reina pergi ke sebuah tempat. Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Reina pingsan. Untungnya, lokasi pembicaraan kami tak jauh dari rumah sakit ini." Jelas Billy.

"Dimana dokternya?"

"Masih di dalam, pak."

"Pulanglah. Kami akan mengurus Reina."

Alih-alih berterimakasih karena anak  mereka sudah dibawa kesini, dua orang itu justru meminta Billy untuk pergi dari rumah sakit ini.

"Baiklah. Saya permisi pulang."

Tanpa banyak kata, Billy segera meninggalkan mereka disana. Tak lama, pintu kamar terbuka. Seorang dokter terlihat menghampiri ayah Reina. Ada hal serius yang mereka bicarakan. Dan tentu, telinga Billy tak bisa mendengar semua itu dari jarak yang cukup jauh.

Yang terlihat hanya raut muka kecemasan disana. Gadis kecil tadi juga memeluk ibunya dengan rasa cemas yang sama. Lagi-lagi, Billy merasa bahwa apa yang dihadapi gadis itu bukanlah masalah biasa.

Demi ReinaWhere stories live. Discover now