14 - Tanggung Jawab

16 3 0
                                    

Ayah marah besar setelah tahu aku kabur dari rumah sakit, lalu tiba-tiba pingsan di tengah jalan. Untungnya, ada seorang pemuda yang membawaku kembali. Ternyata, pemuda itu adalah siswa satu sekolahku yang kemarin menyelamatkan nyawaku. Ia juga yang terakhir bertemu denganku setelah memintaku untuk kembali bersekolah jika buku harianku ingin dikembalikan.

Mama bilang, namanya Billy. Siswa tahun ketiga yang berbeda jurusan dan kelas denganku. Dia tinggal beberapa kilometer dari sekolah. Pada akhir pekan, seringkali ia bekerja sampingan untuk mencari tambahan uang. Entah bagaimana kalangan menengah kebawah bisa masuk ke sekolah itu. Tentunya, orang tua Billy pastilah para pekerja keras yang rela melakukan apa saja demi memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya. 

Mama tahu semua hal mengenai Billy dari orang suruhan ayah. Mudah saja bagi mereka untuk mencari informasi tentang siapa pun yang mencurigakan. Baik mencurigakan untukku, atau mencurigakan bagi nasib perusahaan milik ayah kedepannya. Begitulah, semuanya mesti dilindungi dan disimpan rapat-rapat.

Seperti dugaanku. Mereka benar-benar menyewa beberapa bodyguard untuk menjaga area sekitar kamarku. Untuk keluar kamar saja tak bisa seenaknya, apalagi bila ingin kabur seperti yang biasa aku lakukan sebelumnya. Ah, sungguh masa-masa yang membosankan. Aku hanya bisa menghitung hari. Berharap segalanya akan segera selesai dalam waktu cepat.

Kamu tahu?
Mungkin ada baiknya juga menuruti keinginan ayah. Karena tak bisa kabur dan selalu menjalani perawatan serta terapi rutin, kondisi kesehatanku mulai menunjukkan kemajuan hari demi hari.

Aku tak lagi harus meneguk banyak obat. Beberapa peralatan medis yang menempel ditubuhku juga dilepas satu per satu. Tapi, bukan berarti sisa hidupku akan bertambah seolah ada keajaiban. Hanya saja, berbagai perawatan ini dilakukan supaya tubuhku sanggup bertahan sampai akhir.

Satu bulan di rawat di rumah sakit terbaik di kota ini, aku diperbolehkan kembali bersekolah meski harus diantar dan dijemput. Dan tentunya, aku masih harus melakukan check up rutin satu  minggu sekali di rumah sakit yang sama.

Ada banyak hal yang tak boleh aku lakukan, tak boleh aku makan, dan tak boleh aku datangi tanpa izin terlebih dahulu. Walau begitu, setidaknya aturan ini bisa lebih longgar dibanding ketika masih di rumah sakit.

***

Akhir Agustus. Tiga bulan setelah menghilang dari dunia pendidikan, aku kembali menginjakkan kaki di sekolahku. Sebenarnya, mudah saja bagiku untuk menyewa guru privat lalu fokus pada home schooling. Tapi seperti yang kamu tahu, aku ini mudah bosan. Setidaknya, berjalan ke tempat-tempat baru sudah bisa menghibur diriku meski kakiku akan memerah dan lecet.

Wali kelasku kembali mengantarkan aku ke ruang kelasku dulu. Aku merasa seperti anak pindahan yang baru masuk ke sekolah ini. Banyak pasang mata menatapku dengan tatapan heran dan tidak percaya. Mereka pikir, aku sudah benar-benar berhenti sekolah. Atau mungkin, aku memang menjalani home schooling seperti yang diinginkan oleh orang tuaku.

Bisikan-bisikan kecil mengiringi langkahku menuju kursi paling belakang. Tempat terfavorit karena dari sisi ini aku bisa menatap ke arah pemandangan di luar jendela kelas. Aku abaikan semua praduga buruk yang mereka pikirkan tentangku, keluargaku, dan tentang ibuku.

Esok harinya, kelasku dipindahkan ke lantai satu tanpa pemberitahuan lebih dulu. Wali kelasku bilang, kelasku yang lama tak cocok untuk kesehatanku yang tak dianjurkan untuk naik turun tangga. Bukan tak mau membangun lift, sekolah ini menerapkan sistem yang mendukung pola hidup sehat. Itu sebabnya, tak akan kamu temukan lift di tempat ini meski bangunan ini terdiri dari empat lantai. Bayangkan saja betapa lelahnya mendaki ratusan anak tangga itu satu per satu. Bisa-bisa, kakiku tertinggal di jalan sebelum sampai di ruang tujuan. Hahah.

Dan sialnya, kelas baruku kini berada di sebelah kelas pemuda bernama Billy itu. Bisa dibayangkan betapa banyak gangguan yang akan aku terima ke depan. Tapi yang pasti, aku ingin melihat bagaimana tanggung jawabnya terhadap kata-kata yang ia ucapkan waktu itu.

"Izinkan aku membantumu."

Terdengar mustahil untuk manusia biasa. Dia bukan dewa, apalagi malaikat. Mustahil baginya untuk membuatku bisa hidup lebih lama. Biar bagaimana pun juga, mestinya aku berterimakasih dengan cara yang baik. Walau dijuluki sebagai "es berjalan", aku ini juga manusia yang punya hati, loh!

Demi ReinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang