(y/n) berlari memasuki lobby kantor. Nafasnya terngah bahkan keringatnya mulai mengucur. "Pembajak sialan!" Umpatnya saat memasuki lift.
Ia keluar saat lift membawanya ke lantai yang ia tuju. "Ranpoooooo!!!!" (y/n) berlari ke arah Ranpo yang tengah berdiri didepan pintu ruang divisi perencanaan. Mengobrak-abrik tas miliknya berharap menemukan ponsel untuk menunjukan sesuatu.
"Kau terlambat 25 menit." Ranpo tersenyum hingga matanya menyipit dan membalikan badan.
"Aku butuh bahumu untuk bersandar." (y/n) benar-benar bersandar pada bahu Ranpo dengan posisi berdiri. "Kau tahu, tadi bus yang ku tumpangi dibajak oleh para perampok." Tangannya terhenti mencari posel didalam tas. Ia justru mengeluarkan sebuah pena dari sana.
Ranpo mulai mengelus surai coklat milik (y/n) yang dikuncir kuda. "Besok aku akan menjemputmu."
Sebuah deheman menarik atensi keduanya. "Ini kantor, bukan tempat bermesraan." Pria itu manahan kepalan tangan dibalik saku, jangan lupakan dengan rahang yang kini mengeras.
(y/n) mendongakan kepala dan mengintip makhluk yang berada dibelakang Ranpo. Pena yang semula ia genggam terjatuh ke lantai dan terpental mengenai sepatu mahal milik si pria yang berdehem. "Kau!" (y/n) terkejut karena pria itu adalah Dazai.
(y/n) mendecih, 'Memangnya siapa yang bermesraan? Bukankah dia sendiri bermesraan diruang kerjanya bersama para selir yang setiap hari berganti itu?' (y/n) menatap Dazai dengan malas.
"Nona (y/n), jam berapa sekarang? Kenapa kau terlambat? Apa hukuman yang kemarin masih belum cukup membuatmu jera?" Dazai memicingkan mata, mengintimidasi (y/n) melalui tatapan mautnya.
Bukannya takut, (y/n) malah menyerang balik Dazai. Ia melayangkan tatapan yang sama seperti Dazai.
Ranpo yang sadar dengan aura-aura mencekam pada keduanya memilih untuk menengahi. "Kau sebaiknya meletakan tas dan mulai bekerja, (y/n)."
"Ranpo." Dazai berjalan mendekati kepala bagian perencanaan. "Apa kau selalu memanjakan anak buahmu seperti itu? Atau karena dia kekasihmu jadi kau memperlakukannya demikian?" Dazai berucap dengan nada yang sangat dingin.
"Dazai... (y/n) adalah adikku. Jadi tidak mungkin aku memacari adikku sendiri." Ranpo masih tersenyum hingga matanya menyipit. Sedangkan (y/n) merangkul lengan Ranpo.
"Adik?" Seingat Dazai, (y/n) adalah anak tunggal dan tidak memiliki saudara.
"Adik tidak sekandung ataupun sedarah." Kunikida datang menengahi.
"Hah?" Dazai meminta penjelasan lebih atas apa yang Kunikida katakan.
"Ranpo sudah menganggap (y/n) seperti adiknya, begitu juga sebaliknya. Pada dasarnya kami semua para kepala divisi menganggap (y/n) seperti adik." Ucapan Kunikida diangguki Ranpo.
"Tapi dia lebih menyayangiku, Kunikida." Ucap Ranpo bangga.
"Kalau begitu ikut aku." Dazai melepaskan genggaman tangan (y/n) pada lengan Ranpo. Lalu menarik (y/n) ke dalam lift menuju ruangannya.
Ranpo dan Kunikida tersenyum tipis, "Ini akan menjadi berita bagus untuk Direktur." Ucap Kunikida.
"Direktur sudah pensiun, Kunikida." Ranpo masih mempertahankan senyumannya.
○ ○ ○
"Bisa kau lepaskan tanganku, Sir?" (y/n) menatap Dazai dari dinding kaca lift.
Dazai melirik, lalu melepasakan genggaman pada tangan (y/n). "Kenapa kau telat?"
"Bus yang ku tumpangi di rampok." (y/n) mengusap pergelangan tangannya yang memerah.

KAMU SEDANG MEMBACA
CEO Sinting [ E N D ]
FanfictionDiantara banyak pegawai yang telat, kenapa hanya aku yang dihukum???? "Sudah tau apa kesalahanmu, hm?" Siapapun tolong beritahu CEO sinting ini kalau aku hanya menjatuhkan pena yang tak sengaja mengenai sepatu mahalnya. "Kau menjatuhkan sesuatu." Be...