3. Maaf!

3.1K 156 5
                                    

Satu hal yang sangat kutakuti dalam dunia ini. Kau menjauh, hingga aku tak bisa lagi untuk menggapaimu.

♥♥♥

Dirjan yang masih setia dengan senyumannya akhirnya menurunkan Alena tepat pada kursi yang semula didudukinya.

Sementara itu, Alena menatap Dirjan layaknya elang yang menemukan seekor umpan yang hendak ditangkap. Sangat sangar.

Fendi yang duduk di depannya cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat manik mata hitam miliknya bertabrakan dengan kepunyaan Alena. Sedangkan Dewa dan Alex hanya bisa menahan tawa sambil menunggu momen-momen kebangkitan amarah Alena.

Alena bangkit dari duduknya, lalu maju satu langkah mempersingkat jaraknya dengan Dirjan. Ia memandang wajah Dirjan tajam yang dibalas dengan mata teduhnya.

Satu tamparan pun mendarat di pipi kiri Dirjan. Saking kerasnya tamparan dari tangan kecil milik Alena, membuat muka Dirjan terhempas mengikuti arah tamparannya.

Sangat perih.

"Dasar gak punya otak. Lo kira gue apa sampai harus digendong gitu? Mau buat gue malu? Jijik gue ngeliat lo," teriak Alena dengan nada suara tinggi berkali-kali lipat. Matanya memerah dengan napas yang menggebu.

Dirjan hanya bisa diam. Entah tak mau menyahut atau tahu diri bahwa ia sudah kelewatan. Tak ada yang berani berkutik. Semuanya diam, hening.

Bukan hanya sampai di situ, tangan Alena juga menyempatkan untuk meraih gelas teh dingin milik Fendi. Dan satu guyuran membasahi wajah Dirjan.

Laki-laki itu masih diam dengan mata yang tertutup rapat.

Pun dengan langkah cepat dan lebar, Alena memutar tumit lalu segera meninggalkan area kantin yang segera disusul oleh Fanesa.

Fanesa harus melangkahkan kaki dua kali lebih lebar dari biasanya agar bisa mensejajarkan langkahnya dengan Alena. "Al, lo tadi kenapa kayak gitu sama Dirjan. Kasihan dia," lirih Fanesa.

Alena menghentikan langkahnya tiba-tiba. Ia memejamkan matanya sejenak. "Lo kasihan sama dia?" Alena membalas pertanyaan Fanesa dengan nada tajam.

Fanesa tidak berani menatap mata Alena yang seakan memanah tepat ke dalam matanya.

"Kalau lo kasihan sama dia, kenapa lo gak balik ke kantin dan kasih dia salep buat ngobatin tamparan gue? Dan sekalian aja lo ambil tisu buat lap wajah dia yang kebasahan. Gampang, kan?"

"Bu--bukan kaya gitu maksud gue, Al," ungkap Fanesa dengan nada gantung.

"Jadi maksud lo gimana?" Alena melipat rapi-rapi kedua tangannya di depan dada, menunggu jawaban dari mulut Fanesa.

Gadis berbando merah itu membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Alena. Namun, kalah cepat dengan Alena. "Dengerin gue, Sa, apapun itu, harga diri gue tetap yang paling penting."

Meninggalkan Fanesa seorang diri, Alena pun melangkahkan kakinya ke toilet. Dia membasuh wajah guna menenangkan aneka gejolak dalam dirinya.

Tiba-tiba, seorang juga masuk ke dalam sana. Gadis itu berdiri di sebelahnya. Terlihat dia mencuci tangan pada wastafel, atau lebih tepatnya, dia sengaja memilih tempat berdua dengan Alena.

"Hai, kenalin gue Mona."

Alena mengernyit, tapi tetap saja membalas uluran tersebut. "Alena."

Tampak gadis yang bernama Mona itu terkekeh pelan. "Semua orang tau kali siapa nama lo. Btw, selamat ya buat lo."

"Hm, makasih ya."

Baik. Alena dapat menyimpulkan bahwa Mona ini adalah gadis yang baik. Gadis ini sempat diisukan dekat dengan Dirjan. Namun, entah itu benar atau salah, Alena tak tahu.

♥♥♥

Sekali lagi bel berbunyi pertanda jam sekolah telah diakhiri. Alena memasukkan semua buku yang ada di atas meja ke dalam tas, setelahnya segera keluar dari kelas yang sudah sepi.

Tidak ada lagi yang tertinggal. Karena besok adalah jatah Alena piket, maka ia membersihkannya hari ini.

"Misora," panggil Dirjan yang muncul tiba-tiba di depannya. Raut wajahnya melambangkan penyesalan.

Alena berdecak sambil memutar bola matanya malas. Bukannya menanggapi, ia malah memilih untuk pergi. Tapi tak lagi, saat Dirjan mengamit tangannya dan spontan membuat langkah Alena terhenti.

Alena membalikkan badannya dengan cepat. Ia sempat terhenyak saat mendapati wajah Dirjan sangat dekat dengannya.

Ia bisa mendengar embusan napas Dirjan yang teratur. Ia juga bisa mencium bau mint pada tubuh Dirjan.

Aneh, pada saat ia menatap manik mata Dirjan, ada sesuatu yang mendesir di dadanya. Sesuatu yang tidak ia tahu apa, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Buru-buru ia menepis rasa itu lalu kembali ke tampang garangnya. Alena membuka mulutnya untuk mengeluarkan kalimat lantang yang mencurahkan kemarahan untuk Dirjan.

Namun lagi, niat Alena terhenti. Alena kalah cepat. Tangan kiri Dirjan telah lebih dulu membekap mulutnya erat. Matanya membulat sempurna.

"Maaf," ungkap Dirjan. Suaranya sangat pelan, hampir seperti bisikan. Tidak, bukan seperti bisikan, tapi lebih ke suara hati dan Alena bisa mendengarnya.

Tubuh Alena melemah. Bahunya luluh seketika. Mata Dirjan seakan menghipnotis tatapannya. Alena menelusuri tatapan itu, mencari kebohongan dari ucapan Dirjan barusan. Namun nihil, ia tak bisa menemukannya. Karena yang bisa ia lihat hanyalah ... cinta.

Ah, apa yang barusan ia pikirkan?

Ia menggeleng cepat untuk mengusir pikiran konyolnya itu.

"Maaf karna aku udah buat kamu malu. Aku kelewatan. Tapi aku janji gak bakalan ngelakuin hal kaya gitu lagi," lanjut Dirjan masih dengan mata teduhnya.

Sesaat, Alena terbuai. Seakan tersadar dari suatu hal, ia langsung melepaskan bekapan pada mulutnya.

Tangan kanan Alena kembali melayang, hendak mendaratkan salam lima jarinya pada pipi kiri Dirjan.

Dirjan yang tahu bahwa ia akan ditampar, langsung menutup matanya dan pasrah begitu saja.

Ralat, Alena tidak menamparnya. Entah kenapa, saat melihat Dirjan dalam keadaan lemah seperti itu membuat rasa yang tadi kembali muncul sehingga membuat tangannya berhenti di udara.

Dirjan masih dalam keadaan sama. Tidak berani untuk membuka mata. Bukannya tamparan yang ia terima, melainkan sentilan pada dahi yang membuat kepalanya terayun pelan ke belakang.

Terkejut, ia langsung membuka mata. Dan melihat Alena di depannya.

"Kali ini lo gue maafin," ujar Alena dingin, lalu meninggalkannya menuju ke gerbang, dan menghampiri supir pribadi yang sejak dari tadi menunggunya.

"Thanks, Misora," balas Dirjan pelan. Ada sedikit senyuman di sudut bibirnya, senyuman tulus yang hanya ia berikan kepada gadisnya.

♥♥♥

Seharusnya Alena telah berada di rumahnya sekarang. Namun, dia malah meminta kepada supirnya untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit.

Alena berjalan sendirian pada lorong rumah sakit yang terbilang besar. Kemudian berhenti melangkah pada sebuah kamar yang sudah sangat sering ia masuki.

Perlahan, Alena memutar kenop pintu. Tampaklah di dalamnya ruangan putih bersih dengan tirai hijau yang terpampang dengan rapi. Di sana, tepat di atas ranjang, seorang gadis cantik terbaring lemah. Seluruh tubuhnya dipenuhi oleh puluhan selang yang tak Alena tahu apa fungsinya.

Langkah Alena bak diseret. Sangat berat untuknya melihat kembali wajah yang sudah lama tidak terbangun.

Hanya suara alat pendeteksi jantung yang bersuara. Air mata Alena perlahan jatuh. Berderai meninggalkan jejak basah di sana.

Sudut bibirnya tertarik, membentuk sebuah senyuman.

♥♥♥

Jangan lupa voment yaa. Makasih ^^

Fall in Love Again? ✔ (TAMAT)Where stories live. Discover now