42. Siapa?

1.4K 99 5
                                    

Tak semua perpisahan harus diawali dengan berpamitan.

♥♥♥

Napas Alena tercekat. Jantungnya seakan baru saja disiram dengan air panas, perih.

"Astaghfirullah, Non Fanesa!" Bahkan Bi Lastri pun tak dapat lagi untuk melanjutkan kalimatnya.

Dengan tergopoh-gopoh ia menghampiri Fanesa yang sudah tergeletak tak membuka mata pada lantai kamar yang dingin. Walaupun tangan telah berubah gemetar, Bi Lastri tetap memberanikan diri untuk mengecek nadi Fanesa.

Sementara di depan pintu, Alena juga telah ikutan jatuh bersamaan dengan piring dan gelas yang juga ikut terlepas dari tangannya. Alena tak bodoh, ia tak bisa berpura-pura bahwa ini akan baik-baik saja.

Hanya dengan melihat pisau dan goresan pada pergelangan tangan Fanesa, serta darah kering yang bersimbah ruah, Alena sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

♥♥♥

Dalam kurun waktu yang sangat dekat, Tuhan telah mengambil dua orang yang teramat Alena sayangi. Selasa yang menyedihkan dengan rintik-rintik yang perlahan membasahi semesta. Alena yang berlangkah gontai lantas menjadi orang terakhir yang meninggalkan pemakaman Fanesa.

Jalannya pun harus dipapah oleh Dirjan, laki-laki pertama yang dikabari Alena waktu itu. Bersama siulan burung yang hinggap pada ranting pohon, Alena menoleh ke belakang. Sebuah pusara yang baru saja ditaburi aneka bunga segar seketika menyadarkannya bahwa Fanesa benar-benar telah pergi untuk selamanya.

"Ra," panggil Dirjan yang prihatin melihat keadaan pacarnya saat ini.

Kembali berjalan, Alena berucap pelan, "Kita pulang."

Keduanya berjalan bersama ke arah mobil. Dirjan membukakan pintu untuk Alena, baru setelahnya ia beralih memutari bagian depan dan duduk di jok kemudi.

Dilihatnya Alena yang menatap nyalang ke depan. Mata gadis itu tampak sembab karena semalaman menangis. Peniti yang awalnya dikaitkan pada kerudung hitam pun telah hilang sehingga menampakkan rambutnya yang acak-acakan.

"Masih berasa kaya mimpi. Aku gak percaya kalau Fanesa akan pergi secepat ini." Alena berujar lirih, menundukkan kepalanya.

Tangan Dirjan terulur dan berakhir dalam genggaman Alena. Netra keduanya pun bertemu. "Ikhlas ya, Ra," pinta Dirjan entah kali keberapa.

Mengabaikan ucapan Dirjan, ia malah kembali ke topik yang sama. "Padahal dia sendiri yang bilang kalau setiap masalah itu harus dibagi. Tapi dia sendiri malah ingkar. Harusnya kalau dia gak tahan sama masalah keluarganya, dia cerita sama aku. Bukan malah bunuh diri karena frustasi."

Dirjan tak tahu harus berkata apa. Suasana dalam mobil berubah suram. Perlahan Alena merebahkan kepala pada sisi jendela, lalu menutup kedua matanya.

♥♥♥

H

ari pertama tanpa kehadiran Fanesa terasa begitu membosankan. Sebagai orang yang paling dekat dengan gadis berbando merah itu, Alena lantas dibanjiri dengan ucapan duka cita dari teman-teman sekelasnya.

Kabar dadakan ini kontan menyebar ke segala penjuru sekolah. Ada yang tak percaya, bahkan ada yang mengatakan kalau ini hanyalah isu belaka.

Tak sedikit pula guru-guru yang menginterogasi Alena karena mengingat dialah orang pertama yang menemukan jasad Fanesa dalam kamar. Hingga semua itu membuat Alena bingung karena harus selalu mengulang penjelasan yang sama kepada orang yang berbeda.

Fall in Love Again? ✔ (TAMAT)Where stories live. Discover now