Chapter 1

3.4K 218 1
                                    

Isakan tangis itu kini memenuhi rumah bercat putih-biru. Seolah tak menerima kepergian seseorang. BoBoiBoy Halilintar, kembar pertama dari 3 bersaudara. Berusaha keras menahan air matanya agar tidak keluar. Manik mata Ruby miliknya nampak berkaca-kaca. Keadaannya tak begitu jauh dengan kedua saudaranya, BoBoiBoy Taufan dan BoBoiBoy Gempa. Taufan menangis tersedu-sedu sembari memeluk kedua jenazah orang tuanya. Gempa, menangis sembari memeluk kakak keduanya. Matanya sembab, Pundaknya naik-turun tidak  karuan. Berusaha menahan duka yang menyelimuti hatinya.

Ketiganya nampak berusaha tegar, menerima apa yang terjadi dan berusaha ikhlas. Namun, yang terlihat tegar hanya BoBoiBoy Halilintar, kakak pertama mereka. Kedua adiknya masih nampak kalut. Pemakaman kedua orang tua mereka sudah selesai. Taufan memeluk batu nisan ibunya yang masih baru, sedangkan Gempa dan Halilintar menaburkan bunga di atas makam kedua orang tua mereka. Gempa mengelus pelan nisan ayahnya. Sedangkan, Halilintar masih menabur bunga. Perlahan, air mata turun dari ekor matanya. Hujan turun dengan derasnya, seolah ikut merasakan kesedihan Ketiga adik-beradik itu.

Air mata mereka bersatu dengan derasnya hujan, baju putih mereka juga kotor akibat lumpur. Halilintar mengalihkan pandangannya pada kedua adiknya, hanya merekalah satu-satunya keluarga yang Halilintar punya. Kedua orang tua mereka meninggal akibat kecelakaan pesawat. Halilintar mendekati Taufan yang masih setia memeluk nisan sang ibu. Di tepuknya pundak Taufan perlahan-lahan.

"Ayo kita pulang, hujan turun semakin deras." kata Halilintar, suaranya terdengar parau. Menahan rasa sakit dan tangis yang ada.
"Hiks... Tidak." Taufan menolak ajakan Halilintar.
"Ayolah, nanti kau bisa sakit."
"Tidak! Aku ingin menemani ibu dan ayah disini.. Hiks..." Taufan merengek pada Halilintar.

Halilintar mengalihkan pandangannya pada Gempa, adik keduanya. Ia memberi kode pada Gempa untuk mendekat padanya dan Taufan. Gempa yang sedang mengelus nisan ayahnya hanya menurut. Ia mendekati Halilintar dan memeluknya. Tangisannya pecah. Ia memeluk Halilintar erat. Seolah tak ingin kehilangan lagi.

"Kak Hali.... Hiks... hiks... kita sudah tidak punya siapa-siapa lagi... hiks... Siapa yang akan menjaga kita?" Gempa bertanya pada Halilintar. Halilintar memeluk erat adiknya.
"Tenang saja, ada kakak. Kakak akan menjaga kalian apapun yang terjadi. Kakak akan selalu melindungi kalian." Halilintar mengatakannya dengan suara agak keras, ia berharap Taufan bisa mendengarnya.

Ia melebarkan pelukannya agar Taufan bisa ikut memeluknya. Taufan yang mengerti itu dengan cepat memeluk Halilintar dan otomatis juga memeluk Gempa, adiknya. Halilintar memeluk mereka berdua dengan erat. Seolah tak mau kehilangan kedua adiknya. Air mata Halilintar perlahan turun dan menyatu dengan derasnya hujan.

'Tuhan, tolong berikan aku waktu bersama mereka lebih lama lagi. Tolong berikan aku kekuatan untuk melindungi mereka.'

"Ayo kita pulang." Ajak Halilintar.

Taufan dan Gempa hanya mengangguk pelan. Mereka mulai bangkit dan berjalan menjauh dari makam kedua orang tua mereka. Mereka berjalan menjauh dari pemakaman umum tersebut.

《For You Brother~》

1 Tahun kemudian......

Keadaan BoBoiBoy bersaudara makin kalut. Mereka mulai berubah sikap dan perangai. Halilintar menjadi dingin,cuek,jarang tersenyum dan suka beladiri. Dulu, Halilintar tidak menyukai beladiri. Tapi, sekarang ia sudah meraih sabuk hitam di bidang taekwondo,karate,maupun silat. Seolah dengan melakukan itu ia dapat membalaskan semua duka, dan rindu yang terkadang muncul di benaknya.

Taufan, ia masih tetap sama seperti dulu. Periang,murah senyum, dan selalu optimis. Namun, dibalik senyuman manisnya. Terkadang, Taufan merasa rindu dengan masa lalunya. Dimana ia selalu menjahili Halilintar,belajar bersama Gempa dan bercanda ria dengan kedua orang tuanya. Ia menyimpan semua itu di balik senyumannya. Ia selalu ingin nampak tegar di hadapan orang lain, ia selalu ingin nampak kuat di hadapan orang lain.

Gempa, ia masih tetap sama seperti dulu. Ramah,lemah lembut,sopan,murah senyum, dan naif. Dikarenakan sifat lemah lembutnya itu, Gempa sering di manfaatkan orang lain. Tak jarang, Taufan sering mendengar Gempa menangis di keheningan malam. Tak jarang juga Taufan melihat Gempa tidur sembari memeluk foto kedua orang tuanya. Taufan yang melihat itu sering merasa iba pada Gempa. Bagaimanapun juga ia merasa Gempa lebih terpuruk dari pada dirinya.

Hari itu Taufan pulang agak terlambat, lengannya terdapat banyak luka. Taufan membuka pintu, namun terkunci. Itu artinya belum ada yang pulang ke rumah.

'Gempa pasti sedang ada rapat OSIS, Kak Hali pasti juga belum pulang. Untung, saja aku membawa kunci cadangan.' batin Taufan.

Ia memasukkan kunci cadangan yang dibawanya lalu memasukkan kuncinya ke dalam lubang kunci di pintu. Taufan membuka pintu secara perlahan. Ia segera masuk dan mencari kotak P3K. Setelah menemukannya, Taufan segera mengobati luka di badannya. Rasa perih akibat lukanya terpaksa di tahannya. Ia yakin sebentar lagi Gempa pasti pulang.

Taufan segera membereskan kotak P3Knya dan mengembalikannya ke tempatnya. Ia duduk di sofa sembari menunggu kepulangan adik bungsunya, Gempa dan sang kakak sulung, Halilintar.

30 menit berlalu, Taufan masih setia menunggu kepulangan kedua saudaranya. Tapi, yang paling Taufan khawatirkan adalah Gempa. Tidak biasanya Gempa pulang lebin dari pukul 15.00. Taufan berjalan ke arah teras rumahnya dan duduk di kursi teras. Ia khawatir dengan Gempa. Mengapa ia bisa pulang seterlambat ini?

Taufan berdiri kemudian mondar-mandir tidak karuan. Ia bingung harus melakukan apa. Ia yakin rapat OSIS sudah berakhir dari tadi.

'Apa yang harus kulakukan? Mengapa Gempa tidak kunjung pulang? Bukannya rapat OSIS sudah selesai dari tadi? Apa aku harus menyusulnya ke sekolah?' batin Taufan khawatir.

Ia masuk untuk mencari smartphone-nya. Ia segera menghubungi nomor Gempa. Tidak di jawab. Taufan tetap tidak mau menyerah. Ia terus menghubungi Gempa sampai 10 kali. Hasilnya tetap nihil. Gempa tidak menjawab panggilan darinya. Rasa khawatirnya makin menjadi-jadi. Takut terjadi apa-apa dengan adik bungsunya.

Oh, iya Yaya!

Yaya merupakan wakil OSIS. Ia pasti tahu di mana Gempa. Tanpa membuang waktu, Taufan segera menghubungi temannya, Yaya. Tanpa perlu waktu lama, Yaya menjawab panggilannya.

"Assalamualaikum, ada apa Taufan?"
"Yaya, apa kau pulang bersama Gempa?"
"Tidak, hari ini aku di jemput oleh bunda, memangnya ada apa?"
"Gempa belum pulang! Apa rapatnya sudah selesai?"
"Rapatnya sudah selesai dari tadi. Kulihat Gempa juga sudah pulang."
"Benarkah? Tapi, sampai saat ini Gempa belum pulang juga!"
"Apa? Bagaimana bisa? Rapatnya bahkan sudah selesai 45 menit yang lalu!"
"Jadi bagai-"

Panggilan di hentikan secara terpaksa. Pasti, pulsa Taufan habis. Taufan mendengus kesal. Ia menyesal telah menelepon Gopal begitu lama tadi malam. Akhirnya di saat genting ia tidak bisa menelepon. Taufan memandang ke arah pintu. Sang adik juga belum kelihatan.

'Bagaimana ini? Gempa juga belum pulang. Yaya bilang Gempa sudah pulang dari tadi. Tapi, mengapa ia belum pulang juga? Ayolah, Gempa jangan membuat kakakmu khawatir.' Batin Taufan.

'Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus menyusul Gempa? Ya, aku harus menyusulnya. Bertahanlah Gempa!' batin Taufan.

Ia berlari ke arah pintu dan membukanya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seseorang memakai jaket berwarna hitam-emas yang nampak familiar baginya. Tubuhnya di penuhi luka-luka. Tangannya terdapat darah.

"Aku pulang."
































"Gempa?!"

《For You Brother》

Hai! Gimana? Maaf, aku gak bisa buat cerita yang bagus. Apalagi membuat pembaca penasaran. Jangan lupa vote dan comment kalau kalian suka ya! Pemcet bintangnya sekali aja jangan dua kali :)

Uptade: 1- Juli- 2019

For You Brother~Where stories live. Discover now