Bagian 8 - Kehidupan Baru

1.2K 223 13
                                    

Rabu, 3 Juni 2020.

Hampir... tiga tahun kemudian.

Sebuah mobil baru saja berhenti di depan sebuah rumah. Seorang pemuda turun dari mobil bersama sopir yang kebetulan seorang wanita paruh baya. Sebuah koper dan beberapa dus dibawa keduanya menuju rumah tersebut. Dilihat dari penampilan, pemuda itu berambut gondrong, berbadan kurus, berkulit gelap, dan kumis mulai tampak jelas. Padahal usianya sendiri baru delapan belas tahun sejak dua bulan lalu.

Rumah itu masih terlihat kokoh sampai sekarang. Tembok plester dengan cat kuning tidak tampak memudar. Lantai keramik putih masih mulus seperti dahulu. Tidak ada pagar yang membentengi rumahnya. Bedanya, halaman depan rumah sudah sesak akan rerumputan karena sejak beberapa waktu belakangan tidak kunjung dipotong. Memang, karena selama itu tidak ada penghuninya.

Kini wanita itu merasa kembali terbawa nostalgia dengan masa mudanya di rumah itu, bagaimana ia berumah tangga di tempat itu, dan bagaimana pula ia menjaga dan merawat rumah kesayangannya. Namun, suaminya sudah memilih tempat baru yang lebih asri, lebih strategis, dan lebih baik. Yang terpenting, di rumah baru pilihan suaminya jauh lebih dekat dengan tempat keluarga wanita itu. Tempatnya berdiri saat ini bukanlah kampung halamannya, bukan pula tempat kelahirannya. Sayangnya ia juga tidak rela membiarkan rumah lamanya terbengkalai. Oleh karena itu, ia menyerahkan semuanya pada pemuda itu yang merupakan tetangganya sendiri kala itu.

"Sekarang kamu bisa tinggal disini sesuai yang kamu minta. Walaupun ini sudah kosong sejak setahun lalu, tetapi kalau kamu ingin tinggal sendirian disini tidak masalah," kata wanita tersebut. "Sekarang ibu harus pamit ke rumah mertua. Jaga dirimu baik-baik, nak."

Pemuda itu mengangguk. "Sebaiknya cepat berangkat ya? Maaf karena menunggu lama saat aku kebelet di SPBU tadi. Sekali lagi, terima kasih sudah memberi tempat tinggal untuk saya."

"Tidak usah dipikirkan. Yang penting kita sudah sampai disini dengan selamat. Baik, 'Nak. Saya pergi."

"Sampai jumpa, Bu Kartini."

Pemuda itu bergegas menyalami tangan wanita tersebut lalu membereskan barang bawaannya ke dalam rumah ketika wanita itu masuk ke mobil. Setelah memasukkan koper miliknya, mobil tersebut sudah hilang dari pandangan. Lalu pemuda itu mengangkat sendiri dus-dus berukuran sedang yang tersisa untuk dibawa masuk ke dalam rumah.

Setelah selesai mengangkat semua barang milik pemuda itu, ia berjalan ke belakang rumah. Terlihat sebuah rumah sederhana yang terpisah oleh hamparan sawah. Rumah itu masih tidak berubah sejak dulu. Ia terbayang masa-masa kecilnya ketika tinggal di rumah itu.

Sebuah ponsel di dalam saku celananya berdering singkat dan pemuda itu mengambilnya. Ia melihat sebuah pesan singkat, cukup lama. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Pemuda itu buru-buru melangkah dan segera membuka pintu. Ada orang sebayanya tengah berdiri dengan santai.

"Didi, akhirnya kau kembali juga. Masih ingat dengan aku, kan? Temanmu dari pasar baru." orang itu datang menyapa.

----00----

Di tempat berbeda, Caca baru tiba di rumah Bono setelah turun dari mobil angkutan umum. Sudah setahun lebih ia tidak mampir ke rumah itu sejak lulus dari SMP dan kembali tinggal di ibukota. Awalnya rencana perginya kesana sempat mendapat kendala karena seluruh modal transportasi dilarang beroperasi. Namun sejak hal itu berangsur longgar beberapa minggu kemudian, ia bisa melakukan perjalanan jauh walaupun diawasi ketat oleh aparat. Bahkan sepanjang perjalanan ia harus berpakaian tertutup, begitu pula dengan separuh wajahnya. Musim penyakit menular jenis baru pada tahun ini memang mengganggu aktivitas siapapun.

Dan sebenarnya ini pertama kalinya Caca pergi ke luar kota sendirian, tanpa ditemani orang tuanya.

Gadis itu membawa tas ransel merah dan mulai melepas masker. Ia berjalan santai—pada kenyataannya dia lelah—menuju depan pintu yang disambut lelaki yang sudah akrab baginya sebagai keluarga.

Didi(k) Ada Apa Denganmu?Where stories live. Discover now