Bab 1: Gadis Aneh

218 14 4
                                    

Bismillah. Assalamualaikum. Selamat membaca.

5) Nyak= Saya
6) Ago= Akan
7) Nyo= Apa

Mungkin ia renta

Aku kuat

Hanya berada di ceruk mata

Jiwa sesungguhnya aku yang tak berdaya

***

"Dalam urusan berjuang, jiwa anak muda terkadang hanya tampak luarnya. Di dalam darahnya justru ia tak lebih muda dari orang-orang yang tua."

***

Kalender kecil itu ia keluarkan lagi dari tas. Di sana coretan merah sudah memenuhi sebagian tanggal di bulan ini. Mayang mengetuk-ngetukan pulpen di dagunya. Berpikir dengan hari-hari yang lalu lantas membuat senyumnya hari ini merekah sempurna.

"Sekarang udah dua tahun!" Ia gembira sendiri di saat teman-temannya pergi ke kantin, perpustakaan, atau tempat lainnya di sekolah ini.

"Tapi--" Air mukanya berubah seketika jadi murung.

"Kok gak dibalas-balas, sih?"

Jumlah surat yang dikirimkan sudah tak bisa dihitung tangan lagi. Selama dua tahun ini, ia sudah menjadwal waktu pengiriman surat. Jika memiliki uang lebih, Mayang bisa mengirimkan surat tersebut hingga tiga kali dalam seminggu.

"Nyak ago buat surat yang keseratus sepuluh. Mak nyo-nyo kalau tak dibalas juga. Semoga tetap dibaca."

Selembar kertas dari bindernya ia ambil satu. Tersenyum hendak beraksi dengan pulpennya lagi. Beberapa kawannya di kelas ada yang sibuk berbincang-bincang. Hanya Mayang yang duduk di kursi paling depan berhadapan dengan meja guru yang saat ini memilih berdialog dengan susunan huruf. Seperti biasa, selalu ia ucapkan basmalah sebelum menulis. Suara hatinya mulai mememakkan kertas tak berdosa itu. Menjerit tanpa didengar orang lain. Mata yang berkaca-kaca pun mulai tampak. Mungkin, jika hari perpisahan itu tak pernah ada, Mayang tak akan pernah merasa hidupnya jadi cidera. Sebelum rahasia itu bisa ia robek sendiri tanpa sepengetahuan Apak, Ina, dan Kakak, Mayang selalu merasa hidupnya paling sempurna.

Mayang tak akan pernah meminta Jogja menjadi tempat persinggahan orang yang Mayang Cinta. Namun, jika suatu saat Mayang memintanya, itu sebuah pertanda bahwa Mayang sudah bosan dengan surat-surat yang tanpa balasan ini.

Mayang selalu berdoa bahwa Jogja menjadi langit yang nyaman untuk orang yang Mayang cinta. Jogja menjadi sahabat untuk Mayang di suatu saat. Jangan menjadi sebuah pisau yang mau menyayat.

Orang yang Mayang cinta, Mayang tak tahu harus memanggil apa. Selama dua tahun Mayang menulis surat, lidah dan jemari ini masih amat kaku untuk menyebut panggilan yang sesungguhnya.

Gadis itu terus saja menulis. Pecahan kaca di matanya tak jua turun membasahi pipi. Semua tertimbun di dalam dada. Hingga teman-temannya pun sudah tak peduli dengan keseharian Mayang menulis surat di kelas. Sesungguhnya mereka juga melihat air mata yang siap tumpah tapi tak pernah mau dibagi kepada mereka.

"Alhamdulillah." Mayang mengusapkan kedua tangannya ke wajah. Air muka sendu itu seketika hilang. Saat Mayang menurunkan tangannya dari wajah, langsung terbit sebuah senyum bangga. Ia berhasil menulis surat ke seratus sepuluh. Memasukannya ke dalam kertas dokumen berwarna cokelat dan lekas ia tuliskan alamatnya di sana.

Surat untuk JogjaWhere stories live. Discover now