Bab 10: Kenyamanan

58 5 0
                                    

Bismillah. Assalamualaikum. Selamat membaca.


Jangan ada jarak

Yang mempererat dengan duka

Jangan ada dekat

Yang mempererat dengan dusta

Aku mati dalam puisi 'jangan' ini

Aku jadi selalu mengembuskan napas pada syair 'mempererat' itu

***

"Entah siapa yang salah. Waktu, kisah, atau diri sendiri. Meski semua itu sebenarnya hanya tentang 'hati'. Itu saja."

***

Saat ini ia sedang melipat sedikit tangan alamamaternya yang hampir melahap jari mayang juga. Ukuran yang lebih besar dari tubuhnya. Bahkan, tampak di sisi kanan dan kiri tubuhnya seperti ada angin yang membuatnya menggelembung. Ia memerhatikan lagi penampilannya di kaca ruang tamu. Iya, kaca jendela yang tinggi itu.

"Enggak kegedean almamaternya?" Apak menghentikan kayuhan sepedanya di halaman. Ia hendak pergi ke ladang.

"Mayang nyaman kok, walau emang kegedean."

"Nanti terbang kalo ada angin gimana?"

Kala itu jua mengerucut lah bibir Mayang.

"Apak nih ya. Males deh ngobrol jamo Apak."

Tawa renyah dari mulut Apak menghangatkan udara saat ini. Lelaki itu memasangkan capil di kepalanya kemudian benar-benar pergi ke ladang seraya menyampaikan beberapa kalimat untuk puteri bungsunya.

"Belajar yang bener. Hati-hati kalo ada angin kencang harus pegangan lebih kencang. Apak berangkat dulu. Assalamualaikum."

Ada jeda sebelum Mayang menjawab, "Waalaikumussalam." Ia sempat berdiri pada jeda penuh makna dari yang raja hatinya sampaikan tadi. Kalimat gurauan yang Apak berikan seperti tak berlaku untuk membuat Mayang tertawa. Sebab, Mayang sedikit gentar ketika Apak menyatakan tiga kata: 'belajar yang benar'.

Tiga hari sekolah setelah PLS, apa Mayang sudah belajar dengan benar? Apakah ia telah menjadi yang teladan?

Sepasang matanya mengerjap beberapa kali menahan rasa bersalah. Ia beralih ke dalam rumah guna mengambil tas dan sepatu. Meninggalkan bunga-bunga yang masih basah di halaman rumah. Membiarkan sapaan sang fajar yang mengintip lewat celah-celah daun pisang dan daun pohon jambu air yang rimbun.

***

Tak ada waktu yang lebih serius sejak pengenalan lingkungan sekolah. Bukan berarti selalu penuh canda tawa, hanya saja, tak ada waktu serius dalam kategori mulai aktif belajar dan mengajar. Keseriusan mereka diajak pada rasa lelah yang cukup berarti saat PLS, kemudian setelah itu, mereka serius dengan rasa gugupnya perkenalan dan kali pertama mengenali guru yang mengajar.

Hal demikian itu, sebenarnya tidak berlaku bagi Mayang. Ia malah merasa diajak serius untuk benar-benar pada keputusannya.

Surat untuk JogjaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin