Bab 21: Dia Datang?

48 4 0
                                    

Bismillah. Assalamualaikum. Selamat membaca.

Sementara aku sedang sedu

Sekian purnama yang berjalan akan berhenti di hadapanku

Lantas mengapa ada mata air yang tiba-tiba membuat mataku basah

Sementara aku sedang sedu

***

"Kekhawatiran hanyalah bentuk hantu untuk saat ini dan nanti. Lalu kenapa manusia lebih suka memeliharanya daripada menggantikannya dengan kesiapan?"

***

Ketika ditariknya sebuah buku dongeng, debu-debu menguar dan masuk ke lubang hidung. Ia kibaskan tangan. Bersiap untuk bersin, tetapi tidak jadi. Seperti ini rasanya justru kian tidak mengenakan hidung. Ia lebih merapatkan tubuh pada dinding perpustakaan. Membuka buku tersebut perlahan.

"Dongeng Timun Mas," gumamnya. Dipikir-pikir, tentu tidak logis jika kisah seorang bayi yang didapat dari dalam sebuah timun. Bahkan benih timunnya adalah pemberian dari seorang raksasa hutan. Ya, namanya saja dongeng.

Gadis itu menutup lagi buku tersebut dan ditaruh pada tempat semula. Tidak jadi membacanya. Di celah-celah buku, tak sengaja ketika pandangannya bergerak, tertuju pada seorang cowok yang tengah memegang album foto. Sambil tersenyum-senyum.

"Kak Bayu lihat foto apa sih sampai tersenyum-senyum gitu?" 

Ia merasakan efek luarbiasa dari senyum Bayu. Jadi turut mengembangkan senyum. Merasakan entakan dari dalam dada dengan pergerakan lebih cepat. Merasakan panas di pipi. Proses jatuh cinta nan sederhana sekali. Hanya melihat Bayu tersenyum saja, gadis bernama Mayang itu sudah makin terpesona.

Kepalanya ditundukkan. Matanya dipejamkan. Beristighfar dalam-dalam.

"Huh, Mayang jangan seperti ini lah."

Meskipun demikian, tetap saja seperti ada yang menarik kepalanya untuk terangkat. Seperti ada mesin yang otomatis menggerakan matanya ke arah Bayu. Namun, di mana Cowok itu sekarang? Bangku yang ditempatinya tadi sudah kosong. Tak ada jejaknya di sana. Mungkinkah tadi ruang khayal Mayang sedang bergerak seolah nyata? Sekarang ruang khayalnya berhenti bergerak dan menciptakan kesadaran dirinya.

Desahan napas ia keluarkan. Ia menundukan kepala dan mengucek mata. Kembali melihat ke arah bangku Bayu, justru yang kini duduk di sana adalah siswa lain.

"Mayang," tegur seseorang. Otomatis Mayang memutar kepalanya ke sumber suara. Jantungnya kini kian berdenyut tak beraturan. Suasana kikuk mendadak memeluknya.

"Dari tadi Kakak negur kamu, kamu mak dengar?"

"Maaf, Kak Bayu. Tadi Mayang lagi fokus baca." Ia bingung sendiri, bagaimana ceritanya Bayu tiba-tiba berdiri di samping kiri.

Tawa kecil Bayu tak bisa dikatakan mampu membuat Mayang baik-baik saja. Mayang semakin gugup dan bunga-bunga seolah bermekaran di sekelilingnya. Tawa yang renyah. Tawa yang indah. Mayang suka.

"Tadi." Ia menjeda perkataannya. "Kayaknya Mayang lihat ke arah bangku-bangku di sana. Bukan baca buku."

"Eh, apa iya, Kak?"

Surat untuk JogjaWhere stories live. Discover now