Bismillah. Assalamualaikum. Selamat membaca.
Pendekar di balik punggung
Untuk meraih hadiah sampai di tangannya
Mencerna peluh di dalam kekeh tawa
Menelan waktu di antara himpitan semu
***
"Tidak semua pahlawan ingin menunjukkan segala taktiknya dalam menaklukan kesulitan. Kadang ia menjadi sosok yang pengecut dengan bermain di panggung pementasan."
***
Apa mungkin hati yang dititipkan kepada Putri akan senantiasa beku? Ketika apa yang telah dikatakan Apak, lantas berenang lagi dalam putaran waktu mengingat perjuangan kedua orang tua. Di malam yang berhasil mengacaukan tatanan suasana hatinya kala itu dan juga hari-hari setelahnya yang cukup rancu untuk dimaknai 'biasa saja dan baik'. Namun, tidak. Putri tak sekeras itu hatinya. Ia adalah si pendiam yang sangat mudah terenyuh. Kasih sayangnya yang luas untuk orang-orang yang berarti, tersembunyi dalam percikan sikap diam seribu bahasanya.
Semua itu, telah menjadi pelecut untuk Kakak tak tinggal diam membiarkan orang-orang yang disayangnya berduka. Dia akan menjadi manusia yang merasa paling bersalah jika tak ada alasan mereka tersenyum yaitu karenanya.
Saat ini jemari tangannya masih menekan tombol-tombol huruf keyboard. Mengerjakan kembali tugas dari pelanggan yang sempat tertunda usai salat zuhur tadi.
"Jadi, gimana belajarnya, Put?" Dista memutar kursi kerjanya ke arah Putri. Sebuah pertanyaan yang meluncur saat mulutnya pun masih bekerja menggiling pisang goreng.
"Tidak gimana-gimana."
"Kamu orang mak ago bercerita denganku?"
"Apa yang perlu diceritakan, Dis? Kalau belajar ya membaca, memahami, dan mengingat." Ia mengeluarkan kalimat tersebut sambil fokus melihat layar komputer. Lantas, "Apa lagi?" Kali ini Putri menoleh ke arah.
"Yakin waktu tiga bulan cukup untuk kamu orang belajar materi yang bahkan sudah setahun lebih kamu tidak menyentuhnya?"
"Doakan aku saja, Dista sayang." Karena gemas dengan apa yang Dista khawatirkan, Putri mencubit pipinya.
"Main cubit-cubitan ya, Put, sekarang? Aku gak pernah dicubit kamu, Put." Apa yang dicetuskan Ilham ini mampu membuat suasana asmara segera bertebaran. Suara berisik dari batuk-batuk yang disengaja dan kata-kata yang berarti memojokan Ilham dengan Putri. Sementara itu Putri jadi sebal sendiri. Dirinya tak bisa menghentikan suasana ini. Maka, tak ia hiraukan. Menghadap benda mati bernama komputer lebih menyenangkan dan sebagai tameng rasa malunya.
"Ekhem."
"Ukhuk-ukhuk."
"Cie."
"Kode, nih, kode."
"Gas lah, Ham."
Lelaki itu hanya tersenyum lantas mengacak-acak rambutnya yang sedikit basah sisa air wudu. "Tunggu aja, kawan undangan kita di tangan kalian."
Kali ini Putri melihat ke arah Ilham yang duduk di sebelah Dista. Bentuk matanya jadi menajam. Pandangannya tak bisa diartikan.
"Wusss. Udah lah, kawan-kawan. Aku duduk di antara mereka orang jadi takut, nih. Bahaya banget." Dista menaikkan kedua tangannya seolah menyerah. Padahal, tentu ini bagian dari permainannya menggoda Putri dan Ilham.
YOU ARE READING
Surat untuk Jogja
SpiritualDua tahun sudah puluhan surat dikirimkannya ke sebuah alamat di Jogja. Hal ini pun ia lakukan tanpa sepengetahuan keluarga. Mayang hanya sedang berusaha memanggil sosok yang disayanginya untuk lekas pulang. Mayang hanya ingin menenun waktu barang...