Three

4.1K 724 255
                                    

"Lagi ngapain kamu? Nonton jorok, ya?"

Jeongin menutup salah satu tab di layar laptop-nya segera setelah suara Minho terdengar. Pemuda itu mengerjap gelagapan, berusaha bersikap normal sebelum melirik ambang pintu kamar mandi tempat Minho berdiri dan menjawab, "Edan!, yo nggak, lah!"

Minho tertawa mendengar nada defensif tersebut. Ia hanya bercanda, mana mungkin bocah yang terlihat sangat lugu seperti Jeongin benar-benar melihat hal-hal seperti yang ia tuduhkan barusan. "Canda.. canda..." Godanya kemudian.

Jeongin tersipu malu dengan wajah memanas. Menahan kuasa untuk tidak memalingkan muka dan menatapi tubuh setengah telanjang mas-nya yang hanya berbalut sehelai handuk biru muda.

"M-mas Minho ganti bajunya di kamar mandi aja, dong... Aku kan masih tidur disini."

"Lho, kenapa? Kita kan sama-sama cowok. Nggak mungkin toh, kamu nafsu lihat titit ku?"

"Ya, enggak.." Elak Jeongin hipokrit, ia masih ragu dan belum sepenuhnya tahu apakah ia siap jika keluarga ini yang mengetahui orientasi seksualnya  yang sebenarnya. Bukan apa-apa, ia hanya tidak sanggup untuk kembali terluka. "Tapi kan malu, mas..."

"Ya sudah.. Aku ganti di dalam. Kamu udah selesai belum pakai laptop-nya belum? Mau mas pakai kerja."

"Sudah, mas..." Angguk Jeongin patuh. Kemudian menutup seluruh tab yang ia lihat dan mengembalikan benda tersebut ke atas nakas. Dan saat Minho datang lagi untuk yang kedua kali, bocah tersebut sudah bergelung dalam selimut, memejamkan mata karena ia ada jadwal kuliah pagi besok.

Minho menyusul tak lama kemudian. Sambil mengutak-atik internet di laptop-nya, ia coba mengajak Joengin bicara. Karena sebenarnya tidak ada kebencian apapun di hati Minho pada anak itu, awalnya ia memang terkejut dan sukar menerima.. Namun lama kelamaan, ia sudah mulai terbiasa. Mungkin Tuhan memang menakdirkan jalan hidup mereka untuk menjadi seperti ini. Lagipula Minho sudah cukup umur untuk paham bahwa Jeongin sama sekali tidak bersalah. Dosa yang dilakukan kedua orang tuanya tidak lantas membuat Jeongin harus ikut menanggung semua itu juga.

"Gimana kuliahmu?"

"Baik. Banyak temennya."

Minho tersenyum, ia memang sering mendengar bahwa Jeongin adalah pemuda yang supel dan mudah bergaul dengan siapa saja,

"Mas Minho gimana kerjanya?"

"Capek. Banyak tuntutannya."

Jeongin tersenyum jahil, ia benar-benar merasa lebih nyaman untuk dekat dengan Minho daripada kakak tirinya yang satu lagi, "Mas tahu, nggak? Kalau capek karena kerjaan, bisa diringanin pakai ngborol-ngobrol, loh."

"Oh, ya?"

"Iya. Apalagi kalau ngobrolnya sama aku."

Minho terkekeh, "Ada bakat jadi playboy juga ya, kamu.. Udah ada cem-ceman belum?"

Jeongin melengok, memandang Minho yang masih asik bermain laptop dengan kacamata yang membingkai wajah rupawannya dengan sempurna, "Cewek, gitu?"

"Cowok!" Tandas Minho sebal, "Ya iyalah cewek!"

"Nggak ada kalau cewek..."

Lagi-lagi Minho tertawa. Baginya Jeongin selalu mengucapkan perkataan yang lucu, meski sering kali sama sekali tidak sadar telah melontarkannya, "Kalau cowok ada?"

"Belum."

Mendengar jawaban tersebut, Minho mengerinyit ngeri, "Jadi bakalan ada?"

Ingin rasanya Jeongin jawab, "Ada, lah. Aku kan homo." Tapi ia telan kembali dan memilih menjawab pertanyaan itu dengan senyuman, "Belum itu maksudnya belum kepikiran pacar-pacaran, mas. Kuliah aja baru ada seminggu.

Road Not TakenWhere stories live. Discover now