Nine

4.2K 475 43
                                    

"Mamah ada urusan mendadak di butik, kalian sarapan bertiga aja ya,"

Sana mengecup pipi Jeongin, Hyunjin, dan Minho bergantian lalu wanita cantik itu lari terburu keluar
rumah untuk segera pergi ke butiknya.

Ibu tiga orang anak itu semakin sibuk saja padahal sekarang hari
minggu.

"Hati-hati, Mah," ucap Minho.

Hening menyelimuti, Jeongin duduk di sebelah Minho dan di hadapan Hyunjin saat di meja makan.

Setelah Sana keluar, Minho ambil sepotong roti dan mengolesinya dengan selai kacang.

"Mas ndak makan nasi?" tanya Jeongin.

"Ndak kepingin."

"Makan yo Mas, kasihan mamah sudah masak kalau makanannya ndak dimakan."

"Ribet, kalau Mas Minho ndak mau makan yo udah, ndak usah dipaksa."

Jeongin cemberut dengar ucapan Hyunjin, ia pikir Hyunjin sudah berubah. Nyatanya masih sama.
Lagipula Jeongin tidak berharap banyak sih dengan perubahan Hyunjin, karena semalam Hyunjin seperti itu karena sedang mabuk.

"Aku ndak maksa, aku kan sayang mamah. Kasihan tau mamah sudah capek masak tapi ndak dimakan.
Aku juga sayang Mas Minho, ndak mau Mas Minho sakit karena telat makan."

Tangan Minho mendarat di atas kepala Jeongin, mengusak rambutnya hingga surai selembut kapas itu
berantakan.

"Iyo iyo, Mas makan nih. Kamu bawel kayak mamah."

"Aku bawel kan karena sayang sama Mas."

Hyunjin berdecih, mencomot roti di piring lalu bangkit dari tempatnya duduk.

"Hyunjin habiskan dulu makanmu," ucap Minho.

"Ndak selera, aku ke rumah dospemku dulu."

"Hari minggu?"

"Iyo, beliau minta hari ini."

Hyunjin menghilang dari balik tembok pembatas, Minho menggeleng melihat tingkah adiknya itu. Minho
tahu, Hyunjin jelas berbohong karena dosen-dosen dikampusnya sangat menghindari pertemuan
dengan mahasiswa di hari minggu.
Semua mahasiswa penurut, kecuali Jae Minho rasa.

Lelaki jangkung itu datang berkunjung ke rumah dengan dalih konsultasi skripsinya. Pada hari minggu, di siang yang panas, saat dia dan Jeongin sedang asyik movie marathon. Minho terang-terangan pasang wajah tidak suka dan terang-terangan juga mengusir mahasiswanya itu.

"Saya tidak terima konsultasi dihari minggu,"

"Sebentar aja deh Pak, masa Bab dua saya enggak ada kemajuannya sama sekali."

"Tetap tidak,"

"Kalau begitu saya mau pinjam Jeonginnya buat temani saya di perpus kota, boleh?"

"Mas Minho mau oleh-oleh apa? Nanti aku belikan."

"Kamu pulang tepat waktu, jam tiga sore sudah di rumah."

"Oleh-olehnya?" ulang Jeongin.

"Mas cuma mau kamu sampai rumah tepat waktu, adikku sayang. Paham ndak?"

Jeongin mengangguk cepat berimbas pada rambutnya yang jadi ikut bergoyang.

"Jeongin berangkat ya, Mas."

Entah sadar atau tidak, Jeongin mengecup pipi Minho lalu menarik tangan Jae dan membawa lelaki
kurus itu berlari kecil menuju halaman rumah di mana motor Jae terparkir.

Minho jelas mematung, dikecup lebih dulu oleh laki-laki adalah hal baru baginya, meski mereka saudara.
Karena sejak kecil Hyunjin saja tidak pernah mengecupnya. Membahas perihal kecup mengecup, ingatan
tentang ciumannya dengan Jeongin kembali berputar. Bibir Jeongin sangat lembut, tidak seperti
ekspetasinya. Ciumannya dengan Jeongin juga terasa lebih manis daripada ciuman dengan mantan
pacarnya dulu. Baginya Jeongin ibarat gadis muda yang polos hanya saja jiwanya terperangkap dalam
raga laki-laki.

Road Not TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang