Twenty Eight

3K 412 27
                                    

"Sandiwara opo neh iki?!"

Sana menarik napasnya dalam, menatap lelah pada Jae yang baru saja masuk ke dalam kediamannya.

"Anak yang Yuna kandung itu anak saya," ucap Jae lantang. Berdiri menjulang membelakangi Yuna.

Yuna hendak luncurkan protes, namun gestur tangan Jae memberikan kode agar dirinya tetap diam.

"Nak, kamu ndak usah ikut campur." Sana menatap Jae menelisik, terbesit rasa curiga dalam dirinya jika Jae ini menyukai Jeongin dan berniat membelanya.

"Kon tresno karo anakku? opo yok opo?!"

Jae atur napasnya, sebelum menjawab, "Saya ndak ada perasaan sama Jeongin, Tan. Saya cintanya sama Yuna. Selama ini saya nemenin Jeongin atas permintaan Yuna. Tante sadar ndak? Jeongin kacau seperti ini karena siapa?"

"Saya yang paling tahu bagaimana mendidik anak saya!"

"Tapi tante tidak tahu bagaimana membahagiakan anak-anak tante. Jeongin tertekan, orientasi seksualnya tidak akan kembali normal meski tante memaksa. Makin hari justru makin parah, dia jadi trauma sama perempuan. Karena siapa? Karena tante. Jeongin bahkan memanfaatkan Yuna yang hamil anak saya agar tante bisa berhenti menuntutnya."

"Saat Hyunjin dan Pak Minho di sini, Jeongin banyak senyum, kan? Dia anak ceria dan baik. Namun setelah mereka bertiga dipisah, coba lihat Jeongin. Dia hidup tapi terasa mati. Lalu, apa tante tahu bagaimana keadaan Hyunjin dan Pak Minho? Apa mereka baik?"

Sana diam, hatinya berdenyut nyeri mendengar penuturan Jae. Dia terlalu egois dan memaksakan kehendaknya sampai ketiga putranya menderita. Yuna di sana terkejut bukan main, jadi alasan Hyunjin dan Minho pindah itu karena mereka homo dan menjalin cinta dengan Jeongin.

"Bu.. Dek Jeongin.."

Bu Mar datang menginterupsi obrolan Sana dan Jae. Wajahnya pucat pasi dengan keringat dingin menetes dari pelipisnya.

"Jeongin kenapa?"

"D-dek Jeongin.. B-bunuh diri di kamar mandi."

Kaki Sana melemas, ia jatuh dengan seluruh tubuh bergetar. Yuna segera berjongkok menenangkan Sana sedangkan Jae berlari menuju kamar Jeongin.

"YUNA PANGGIL AMBULANS!"

Jae memerintah sebelum sosoknya hilang menaiki tangga menuju kamar Jeongin. Air mata otomatis bercucuran dari matanya kala dapati Jeongin nyaris tenggelam dalam bathub dengan mulut berbuih.

"Jeongin! Ya Tuhan..."

Jae meraih tangan Jeongin, mengecek denyut nadinya lalu tersenyum kala masih dapat ia rasakan denyut nadi lemah dari Jeongin. Melihat kotak obat yang tergeletak dekat di lantai, Jae memungutnya dan ia taruh dalam saku.

"Puji Tuhan, terima kasih."

Tubuh Jeongin di angkat, Jae berlari menuruni anak tangga. Ambulans yang Yuna panggil belum juga sampai maka dari itu Jae sendiri yang menyetir mobil sementara Yuna menemani Jeongin di kursi belakang dan Sana di kursi depan bersama Jae.

"Nak, lebih cepat!"

Jae memfokuskan pandangannya, kecepatan ia tambah. Sayangnya lampu merah menghentikan.

"YA TUHAN!!! NAK TEROBOS.. CEPAT TEROBOS!"

"Kak Jae terobos aja! Napas Jeongin makin ndak terasa."

Yuna di belakang panik, ia terus memantau pernapasan Jeongin. Meski penghalang jalur napas sudah ia lepas, Yuna tetap khawatir jika nalur napas Jeongin tertutup dari dalam. Ia juga khawatir Jeongin tersedak buih yang keluar dari mulutnya sendiri. Jae menginjak pedal gas, menantang maut dengan menerobos lampu merah dimana kendaraan sedang melintas.

Road Not TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang