Catatan 1 : Halaman Pertama

2.3K 138 13
                                    


Ini hari pertamanya masuk sekolah setelah libur panjang. Seokjin tetap tidak bisa diam saat si ibu mencoba merapikan sedikit seragamnya. Kaki kecilnya berjingkrak tanpa henti, sampai-sampai Seokjung gatal ingin menendang bagian belakang lututnya. Dia bilang ibu harus mengantarnya pagi-pagi sekali supaya mendapat bangku paling depan.

Wanita berkepala tiga hanya mengangguk pelan agar Seokjin mau tenang dan memakan sarapannya. Pasalnya, bocah lima tahun itu mustahil berhenti bergerak jika tidak diiming-imingi sesuatu,

"Habiskan sarapannya dulu, ibu tidak akan mengantar pagi-pagi kalau masih ada yang tersisa" tangan kokohnya mengangkat tubuh Seokjin agar duduk di samping Seokjung.

Jinsil buru-buru berdandan supaya si bungsunya itu tidak berteriak saat sudah selesai. Barulah bersiap mengantar kedua putranya menuju sekolah.

"Ayo, basuh dulu tangannya," menggiring Seokjin kearah wastafel, bocah itu selalu enggan menggunakan garpu dan pisau saat memakan roti.

Fokusnya benar-benar terbagi dengan si sulung yang juga perlu arahan. "Seokjung jika sudah selesai cepat berlari ke mobil ini sudah siang!"

Dengan sabar Jinsil membasuh kedua tangan putranya yang penuh noda selai.

"Aish ibu! aku kan sudah bilang jangan terlalu siang." Seokjung mengomel sambil mengecek keperluan sekolahnya.

Seokjin ikut menimpali dengan kepala yang mendongak menatap wajah ibunya, "Aku pasti tidak dapat bangku paling depan" bibirnya mengerucut menahan kesal, padahal sejak tadi ia mewanti-wanti agar ibunya bisa bergerak cepat. Jinsil hanya tertawa kecil sembari mengusap dahi Seokjin dengan air.

📑

Itu kisah dua belas tahun silam. Seokjin kecil dan kenangannya bersama sang ibu. Omong-omong soal pemuda Kim yang sudah beranjak remaja ini merupakan penggila sastra akut. Tiap hari hanya diisi dengan khayalan puitis bersama buku merahnya yang penuh dengan tinta hitam.

Terkadang pula Seokjin melakukan ritual rutin dengan gitar coklatnya. Membuat lirik lagu yang selalu berakhir buntu. Mau bagaimana lagi, sudah menjadi kebiasaannya yang selalu melakukan pekerjaan dengan tidak tuntas.

Remaja tujuh belas tahun yang sudah mengerti kerasnya kehidupan itu selalu beranggapan bahwa 'hal baru' merupakan sesuatu yang favorit. Seokjin suka bergonta-ganti hobi namun tetap bersahabat dengan sastra.

"Biasakan untuk mengganti pakaian setelah pulang sekolah, jorok sekali!"

Melihat si bungsu yang berbaring di sofa dengan buku tebal membuat Seokjung gatal ingin menyeretnya ke toilet. Seokjin selalu begitu, enggan mencuci tangan dan kaki tapi sudah bersantai ria tanpa rasa bersalah.

"Keringatmu itu bau, Jin. Ibu pasti marah melihat kelakuanmu yang selalu seenak pusar."

Kupingnya panas mendengar ocehan si sulung yang tak ubah seperti bibi penjual sayur. Seokjung tidak salah, tapi menurutnya sifat cerewet sang kakak melebihi Jinsil, "Iya.. iya.. calm down, tidak perlu pakai otot." Seokjin malas mencari masalah, kadang ocehan hanya di balas candaan yang sama sekali tidak lucu.

Kaki panjangnya buru-buru menaiki anak tangga untuk menuju ke kamar.

--

Seokjin tidak pernah meminta Tuhan untuk mengubah perangai Jinsil sedikitpun. Pemuda itu senang memiliki sosok wanita yang cerewet tapi sangat menjaganya. Melindungi Seokjung dan dirinya dengan segenap hati. Selalu peduli meski harus dengan ocehan khas yang kerap terngiang dalam pikiran kedua pemuda Kim.

New Birth | KSJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang